Bronze Lions untuk Video #StopPerkawinanAnak
14 April 2022
PERJUANGAN SEORANG PEREMPUAN DENGAN HIV BAGI ANAKNYA
12 May 2022
Show all

PEREMPUAN HIV DI TENGAH BENCANA

Sebenarnya saya masih belum mampu menulis kembali peristiwa beberapa tahun lalu, yang terjadi pada 28 September 2018. Saya masih menangis ketika berusaha mengingat situasi kelam itu dan membuka jejak media sosial. Bukan karena cengeng tapi sangat bersyukur betapa Tuhan memberikan saya satu kali lagi kesempatan hidup.

Saat itu handphone saya tidak aktif karena tenaga batere hampir habis, sehingga untuk menghubungi keluarga sangat susah. Kemudian keluarga mendapatkan kabar dua hari kemudian di tanggal 30 September. Ternyata banyak sahabat, keluarga, yang mencari kabar tentang diri saya lewat media sosial. Adik perempuan yang akan menikah saat itu malah memposting foto saya di grup Facebook Info Kota Palu untuk mencari tahu di mana saya. Jujur saat itu saya tidak berada di Kota Palu, saya berada di Sirenja, Kabupaten Donggala, karena saya ingin ikut mengajar anak anak di tanggal 29 September, namun sudah terhalang oleh bencana sehari sebelumnya.

Yang pertama kali saya ingat adalah ARV, obat yang selalu saya minum setiap hari untuk menekan virus HIV di dalam darah, obat ARV yang wajib ada selalu dan ternyata saat itu hanya tinggal beberapa butir saja. Saya memang berencana mengambilnya ke rumah sakit saat saya pulang dari kegiatan mengajar itu, namun ternyata api sudah membakar sekam, saya harus bagaimana? Saya harus mulai dari mana?

Beruntung ada sahabat menolong dengan mengevakuasi saya ke rumah keluarganya, sehingga saya bisa makan dengan cukup, bisa tidur meski di kondisi bencana kita tidak akan bisa terlelap tidur, karena masih ada ketakutan  bencana akan muncul lagi. Saya baru bisa berfikir jernih, di saat doa-doa saya panjatkan ke Tuhan agar saya selamat, agar keluarga bersabar di Makassar.

Ternyata banyak yang mengalami nasib sama, bahkan lebih parah. Mereka sudah tidak minum obat karena rumahnya tersapu tsunami, atau bahkan tidak sempat mengingat menyelamatkan obat ARV di botol karena segera menyelamatkan diri ke atas gunung. Di saat itu banyak yang saya rasakan. Di saat negara tidak full power menolong kami, kepada siapa kami mau minta bantuan? Segera saya harus waras meski sedih. Jika pun ini hari terakhir saya hidup, saya akan berbuat yang berguna untuk orang lain, menghela nafas berkali kali lagi, mengumpulkan kekuatan dan mulai beraksi.

Empat hari pasca bencana tidak banyak yang saya lakukan, saya hanya mengunjungi teman ODHA yang lain. Jujur sulit karena bensin pun langka. Seramnya lagi melihat kondisi rumah sakit yang “ulala” hancur. Rumah tempat tinggal kami roboh disebabkan dahsyatnya om Koro (Palu Palu Koro) yang menyebabkan bencana alam tiga dimensi saat itu: gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Korban yang meninggal akibat bencana mencapai 4.340 jiwa di Sulawesi Tengah. Namun tidak ada waktu untuk menangis.

Mengelola perasaan di tengah kesulitan

Dari awal saya berusaha memanjat jalan ke rumah sakit rujukan ARV (RS Undata) yang areanya masih riskan untuk dinaiki. Saat menembus police line di Rumah Sakit Anutapura hanya untuk memungut obat ARV yg tersisa, setiap menit masih selalu ada  gempa susulan yang terjadi kala itu. Entah adrenalin dari mana saya harus melakukan itu semua, untuk menyambung nyawa-nyawa kami yg terhubung dengan obat ARV ini. Atau saya hanya perempuan yang hidup dengan HIV yang memaksa mengumpulkan semua asa dan harapan untuk bertahan. Tidak rela jika mengetahui ada ODHIV yang putus obat saat gempa dan kemudian meninggal.

Saya tahu harus menerima dan mengelola perasaan apapun yang terjadi ketika itu. Setiap hal yang saya temui saat bencana alam itu mempunyai makna yang saling merangkai. Jika saya harus diam dan menangis atau bahkan menyelamatkan diri, sepertinya itu bukan saya. Bencana itu tidak terprediksi di akal. Begitu pun saya harus bisa mendapatkan esensi dalam  bencana ini.

Kesedihan ini harus diputus, dan menggantinya dengan semangat. Setelah itu mendistribusikan ARV yang bisa dijangkau atau ditemukan di salah satu titik pengungsian. Lalu mengantarkan susu formula untuk anak dengan HIV, mengirimkan ARV di kabupaten yang jauh dari kota Palu, seperti di Kabupaten Toli Toli, Morowali, dan Buol. Mau menangis? Sangat iya, saya ingin pulang saja ke Makassar saja saat itu. Tentu keluarga pun sangat risau dengan keadaan saya. Bukan manusia kalau tidak sedih. “Perlu trauma healing untuk teman-teman ODHA,” kata benakku.

Mengingatkan diri dengan realitas

Ketika mengurusi ODHIV saat darurat pasca bencana kota Palu, saya harus tetap menuntut diri sendiri agar selesai sarjana. Saya malu pulang ke Makassar kalau tidak selesai pendidikan. Sebenarnya tinggal beberapa langkah lagi saya sudah bisa bergelar S.I.Kom. Beruntung kami bersinergi bersatu menjalankan  “Posko ARV Mobile Sampesuvuku”. Dua minggu pertama relawan dari IAC (indonesia Aids Coalition) telah bergabung bersama kami dalam pendistribusian ARV. Kemudian kami pun berterima kasih dengan kedatangan Relawan Jaringan Indonesia Positif. Upaya mengembalikan sistem layanan kesehatan pasca bencana gempa, tsunami dan likuifaksi ini membuat kami semakin berpikir positif.

Terdapat 104 ODHIV dari total 247 ODHA yang mengakses ARV di rumah sakit. Mereka mengambil ARV di Posko ARV Mobile Sampesuvuku, dan terus kami kawal sehingga tidak putus ARV. Kami hadir membantu kawan kawan ODHIV meringankan beban negara. Sekali lagi, negara harus hadir untuk ODHIV di tengah bencana. Ah badai pasti berlalu digantikan pelangi yang indah. Ini salah satu bentuk trauma healing dengan cara tetap di lingkaran orang-orang yang berpikir positif. Bergeser, jatuh dan tetap kokoh, itu mungkin yang saya harus saya tulis di buku harian. Palu bangkit, ODHIV pun harus kuat[MOU1] .

Orang yang hidup dengan HIV yang terdampak oleh bencana juga masih takut dengan stigma dan diskriminasi. Di situasi normal saja, masih ada stigma apalagi saat bencana, tidak mungkin banyak yang mau mengaku “saya HIV” di tenda pengungsian bencana. Obat ARV yang menjadi sahabat kami harus tersedia di saat situasi apapun termasuk saat bencana. Tidak boleh ada ODHIV yang putus ARV karena kondisi psikis dan fisik tentu jauh berbeda. Jadi perlindungan kesehatan untuk ODHIV harus lebih lengkap. Bencana membuat ODHA lebih riskan kena penyakit karena kekebalan tubuh menurun dan kemudian sakit dan meninggal.

Diperlukan juga alur layanan kesehatan yg kuat dan humanis saat bencana untuk ODHIV. Dengan adanya data yang lengkap dapat memudahkan untuk menjangkau dan mendampingi kawan kawan ODHIV. Gizi untuk ODHIV dan anak dengan HIV juga perlu dicatat sebagai kebutuhan. Bahkan rumah singgah yang layak juga perlu disediakan untuk ODHIV yang terdampak bencana. ODHIV bisa luput ditolong dan diperhatikan saat bencana jika tidak ada yang bersuara dan berbicara ataupun menulis. Mulai dari bencana Palu ini kami berusaha belajar dan bertahan serta menolong sesama ODHIV. Jika menjadi ODHIV adalah pilihan yang tak pernah saya pilih dalam hidup saya, setidaknya mengambil pilihan berusaha menjadi orang yang berguna saat bencana membuat saya tidak akan menyesal menjalani hidup. Karena hidup adalah menarik garis terus tanpa harus mengambil penghapus.

Arfianti AR

Tulisan ini bagian dari (Fellowship PKBI) Mengkampanyekan Kesetaraan Gender di Dunia Digital.