“Aku ingin sekali berkenalan dengan seorang “Perempuan Modern” yang berani dan mandiri, yang menarik hatiku sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan Langkah cepat, tegap, riang gembira, penuh semangat serta tekun. Perempuan yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia.
– Surat kepada Stella – 25 Mei 1899
Kartini telah memiliki konsep perjuangan untuk membela hak-hak perempuan sebagai manusia seutuhnya. Kepada Stella, ia pernah menceritakan bagaimana adat istiadat di kotanya yakni Jepara; sangat mengekang kebebasannya sebagai perempuan muda. Lebih seabad kemudian, curahan hati Kartini seharusnya menjadi realita. Namun dengan RUU Ketahanan Keluarga, Kartini bisa geleng-geleng dan ngelus dada. Harapannya untuk menjadi “Perempuan Modern” yang dicita-citakan dulu, nyatanya tidak banyak perubahan di 2020. Apalagi jika melihat hasil konsep emansipasi yang dihasilkan dari tulisannya hanya dijadikan alat kekang baru untuk perempuan. Pengekangan perempuan pun dilakukan oleh perempuan lainnya melalui RUU Ketahanan Keluarga. Kartini yang seharusnya tersenyum melihat perempuan-perempuan muda nusantara yang dapat menentukan harkat dan martabatnya sendiri, malah terbelenggu otoritas keluarga.
Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis perempuan pada kesempatan dalam Media Briefing/Talkshow Koalisi Pekad (22/04/2020) menyebutkan bahwa, RUU Ketahanan Keluarga ini memberikan batasan ekspresi ke dalam keluarga di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini. Menurutnya, tugas negara bukan menetapkan standarisasi keluarga, di mana pembagian peran menjadi hal yang ajeg dan tegas. Sebaliknya, negara seharusnya menjamin keberagaman di dalam keluarga serta menjamin perlindungan dan kesejahteraan tiap individu di dalam keluarga.
“Keluarga itu ga bisa dipatok dari sticker-sticker Happy Family yang ada di belakang mobil. Itu bukan tugas negara, karena seharusnya negara memastikan perlindungan dan kesejahteraan keluarga berkualitas dan terdidik”, ungkapnya Kalis.
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, juga mempertanyakan tujuan dan target sasaran dari RUU Ketahanan Keluarga ini. Dilihat dari definisi keluarga dalam RUU ini, ada konsep terdidik, beriman dan bertakwa yang sangat agamais. Sama dengan Kalis, Genoveva meragukan kemampuan pemerintah untuk memenuhi karakteristik keluarga ideal yang diinginkan di dalam RUU Ketahanan Keluarga. Menurutnya, RUU ini sangat idealis dan menggambarkan keluarga di Indonesia ini di level yang sama.
“Saya malah mau bertanya, sebenarnya untuk apa dan untuk siapa RUU Ketahanan Keluarga ini ada? Standar keluarga yang baik adalah rumah tangga dengan sirkulasi udara yang baik dan kamar tidur anak yang terpisah. Itu idealnya. Sekarang pertanyaannya mampu tidak? upaya-upaya yang dilakukan untuk mengintervensi ranah keluarga ini di luar batas. Belum lagi RUU ini seakan berusaha membungkam emansipasi perempuan”, Jawab Genoveva.
Lebih lanjut, Koalisi Pekad dalam rilisnya meminta negara di posisi ini, seharusnya hadir untuk melindungi tiap individu di dalamya, bukan malah mengalihkan tanggung jawabnya kepada masing-masing keluarga yang ada melalui RUU Ketahanan Keluarga ini. Jika RUU ini disahkan proyeksi yang tampak adalah ketimpangan keluarga antara yang mampu dan tidak dalam membangun keluarga. Bahkan mungkin kondisi “Perempuan Modern” yang dicita-citakan Kartini tidak akan pernah terjadi. Selama perempuan pemimpin terpilihnya, sekuat tenaga mengembalikan emansipasi perempuan ke tahun 1899.
Rilis Pers Kartini Bisa Geleng-Geleng Lihat Isi RUU Ketahanan Keluarga
Penulis: Riska Carolina