Kartini Bisa Geleng-Geleng Lihat Isi RUU Ketahanan Keluarga
22 April 2020
Menghadapi Ujaran Kebencian terhadap LGBT: “Perlu Strategi Baru”
4 May 2020
Show all

Corona dan Pengguna/Narapidana Narkotika

gambar diambil dari https://tirto.id/eks-napi-yang-bebas-usai-menerima-asimilasi-corona-jadi-residivis-eNcG

Masalah berlapis yang dialami oleh kelompok rentan; pengguna narkotika dan orang dengan HIV/Aids ini, seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sudah selayaknya negara hadir untuk melindungi dan menjamin hak-hak setiap individu, termasuk kelompok rentan, apalagi di tengah wabah yang tidak terprediksi kapan akan berakhir. Talkshow Online PEKAD (Pekan Tengah Diskusi), mengajak Aisya Humaida (LBH Masyarakat), Meirinda Sebayang (Jaringan Indonesia Positif), Rosmah Karlina (Aksi Keadilan Indonesia) dan Novia Puspitasari (LBH Masyarakat) untuk memantik diskusi, berbicara tentang Perlindungan Kelompok Rentan di Tengah Pandemi Covid-19: Pengguna Narkotika dan Orang dengan HIV/Aids.

Kementerian Hukum dan HAM RI mengambil langkah pengeluaran narapidana di tengah terjadinya Pandemi Covid-19. Kebijakan ini mengundang banyak pertanyaan di publik. Urgensitas kebijakan ini dipertanyakan. Namun bukanlah hanya Indonesia yang melakukan. Jika nalar masyarakat umum belum dapat memahami alasan asimilasi, integrasi hingga pengeluaran narapidana dari lapas/rutan ini. Overcrowding adalah jawabannya. Pandemi Covid-19 membuat narapidana yang hidup tidak layak, berhimpitan karena kelebihan manusia, membuat penularan Covid-19 semakin cepat. Di luar lapas/rutan saja, kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) dan tenaga kesehatan menjadi persoalan. Tentunya, jika kita manusia yang memiliki hati nurani, narapidana sekalipun seharusnya berhak mendapatkan bantuan kesehatan. Namun, dikarenakan kelebihan orang di dalam lapas/rutan, asimilasi & integrasi menjadi jawaban.

Sejumlah negara lain juga menerapkan hal yang sama, seperti Iran dengan kepadatan 85.000 orang narapidana di 2018; Thailand dengan 8000 narapidana di 2015; Turki dengan 100.000 narapidana di 2018; Polandia di 2020 dengan 12.000 narapidana; dan Afganistan dengan 10.000 narapidana di 2018 (reformasikuhp.org 24/04/2020). Kelima negara ini menunjukan kelebihan orang di dalam rutan/lapas overcrowding, sekiranya 2 kali lipat total manusia yang dapat ditampung dalam satu tempat. Artinya melebihi 100% jumlah manusia yang menempati rutan/lapas.

Indonesia bisa jadi mengikuti mandat WHO untuk mengeluarkan narapidana prioritas dan pembebasan bersyarat kepada narapidana rentan. Tak luput juga, narapidana narkotika. Menteri hukum dan HAM mengetahui Urgensitas dengan mengeluarkan mandatnya melalui Permenkumham No. 10 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Integrasi yang sejalan dengan PP no. 99/12 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Dampaknya terhadap narapidana narkotika yang mendapatkan asimilasi dan integrasi sesuai Permenkumham No. 10/2020 menjadi terbatas. Asimilasi dan integrasi narapidana narkotika terbentur PP no. 99/12. Berdasarkan Pasal 43A narapidana narkotika yang dapat dibebaskan hanyalah narapidana yang dipidana minimal 5 (lima) tahun penjara dan telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan. Selain itu, narapidana narkotika yang telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani. Adapun hakekatnya Permenkumham 10/2020 ini mengatur asimilasi dan hak integrasi diberikan kepada narapidana kasus pidana umum bukan pidana khusus, termasuk narkotika.

Pada Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, telah dijabarkan bahwa narapidana narkotika yang memenuhi kriteria PP No.99/12 untuk diberikan asimilasi rumah sebanyak 15.852 orang. Jumlah ini tentunya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah total penghuni lapas/rutan sebanyak 270.464 (data SDP Dirjen PAS 30 Maret 2020). Padahal, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir, mengungkapkan bahwa 70% narapidana di Indonesia dikarenakan oleh kasus narkotika.

Hal ini tentunya jelas tidak akan efektif mengingat penanggulangan Covid-19 dalam lapas tidak berfokus pada orang yang benar-benar rentan. Sebagaimana yang dianjurkan WHO, kelompok rentan dalam lapas/rutan yang utama diberikan asimilasi yakni orang tua, perempuan hamil, ataupun yang sakit. Narapidana narkotika dengan adanya PP No.99/12 itu, terpinggirkan haknya untuk mendapatkan perawatan jika sakit hanya karena mereka adalah narapidana narkotika. Apalagi narapidana narkotika itu merupakan Orang dengan HIV/AIDS, maka sebenarnya secara urgensi merekalah kelompok yang paling rentan untuk dilindungi dan mendapatkan asimilasi.


Penulis: Riska Carolina