Berdiri sejak 23 Desember 1957, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan Keluarga Berencana di Indonesia. Lahirnya PKBI dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pendiri PKBI, yang terdiri dari sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan terhadap berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di Indonesia.

Pada era 1950-an gagasan tentang Keluarga Berencana (KB) menghadapi tantangan berat. Sebagian besar masyarakat dan akademisi cenderung melihat keluarga berencana sebagai upaya pembatasan kehamilan semata, yang pada masa itu dinilai sebagai suatu hal yang dianggap sebagai bentuk perampasan kemerdekaan yang baru saja dinikmati oleh bangsa Indonesia.

Di sisi lain, pada periode tersebut pemerintah belum menyadari manfaat keluarga berencana bagi peningkatan kualitas bangsa. Saat itu, hamil dan melahirkan ditanamkan sebagai tugas mulia perempuan untuk melahirkan jutaan generasi baru Indonesia yang akan mengelola sumber daya alam yang melimpah dan mengangkat citra Indonesia sebagai bangsa yang besar di mata dunia.

Banyaknya perempuan hamil dan melahirkan berdampak pada kesehatan perempuan yaitu tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Hal ini semakin menguatkan para pendiri PKBI untuk membentuk wadah gerakan keluarga berencana di Indonesia.

Pada awal 1950, dr. Soeharto – dokter pribadi Presiden Soekarno – mulai memikirkan beberapa kemungkinan untuk mendirikan sebuah organisasi keluarga berencana. Hal tersebut semakin menguatkan setelah diskusi dengan anggota Field Service IPPF (International Planned Parenthood Federation – Federasi Keluarga Berencana Internasional) Mrs. Dorothy Brush. Setelah itu, dr. Soeharto juga berdiskusi dengan perwakilan Research Institute Newyork dr. Abraham Stone dan Margareth Sanger.

PKBI percaya bahwa keluarga merupakan pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Keluarga yang dimaksud ialah keluarga yang bertanggung jawab, yaitu keluarga yang menunaikan tanggung jawabnya dalam dimensi kelahiran, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan.

Menghadapi berbagai permasalahan kependudukan dan kesehatan reproduksi dewasa ini, PKBI menyatakan bahwa pengembangan berbagai programnya didasarkan pada pendekatan yang berbasis hak sensitif gender dan peningkatan kualitas pelayanan serta keberpihakan kepada masyarakat miskin dan marjinal melalui semboyan “berjuang untuk pemenuhan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi”.

Kepekaan dan kepedulian PKBI terhadap masalah kesehatan perempuan pada gilirannya menyadarkan masyarakat untuk menempatkan KB dalam perspektif yang lebih luas, yaitu kesehatan reproduksi. Kerja keras yang terus menerus membuahkan pengakuan dunia terhadap eksistensi PKBI. Pada tahun 1969 PKBI mencatat sejarah baru sebagai anggota penuh IPPF, sebuah lembaga federasi internasional beranggotakan 184 negara yang memperjuangkan pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi masyarakat di seluruh dunia.

Perjuangan PKBI dalam mewujudkan keluarga sejahtera melalui program KB mulai direspon oleh Pemerintah. Pada bulan Oktober 1969, Pemerintah Indonesia mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN). Awal berdirinya, LKBN diberi tugas memberi pelayanan KB di Jawa dan Bali. PKBI tetap menjalankan peran utamanya yaitu menyelenggarakan pelatihan, riset, sosialisasi dan pelayanan KB di beberapa wilayah lainnya. Pada tahun 1970, Pemerintah merubah LKBN menjadi BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), sekarang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Sejak masa itu, KB dipandang sebagai bagian integral dari pembangunan Indonesia.

Setelah melalui lima dasawarsa, PKBI kini berada di 26 Provinsi mencakup 249 Kabupaten/Kota di Indonesia. Tantangan PKBI saat ini adalah terus konsisten dan berinovasi dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi untuk seluruh masyarakat khususnya untuk kelompok yang terpinggirkan.