Beredarnya Draft RUU Ketahanan Keluarga, tertanggal 7 Februari 2020, yang menjadi perdebatan oleh masyarakat sipil, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia mencermati substansi dari RUU ini yang dinilai problematik dan tidak mencerminkan asas kesetaraan dan non-diskriminasi. Adapun materi yang kami kritisi dari RUU Ketahan Keluarga ini antara lain:
RUU Ketahananan Keluarga menganut sistem keluarga yang biner, yakni pembagian peran menjadi hal yang ajeg dan tegas. Secara fungsi dari keluarga, sebenarnya itu merupakan hal yang sah saja. Namun, membuat standarisasi dari apa yang disebut dengan keluarga yang “baik dan benar” ini yang kemudian menjadi persoalan. Menetapkan standar mutu untuk keluarga yang dinamik seakan mendikte suatu keluarga untuk berlaku dan bertindak sebagaimana yang telah ditetapkan. Padahal menurut teori sistem keluarga bowen[1] menyebutkan bahwa tiap unit dalam keluarga punya perasaan emosionilnya masing-masing. Dengan demikian, memaksakan tiap unit untuk interdependensi dengan yang lain walau mempromosikan keluarga yang kohesif dan kooperatif juga bisa mengarah pada permasalahan dan ketegangan dalam keluarga. Tiap anggota dari keluarga tersebut memiliki emosinya sendiri, yang malah kian memicu kecemasan, stress, overwhelmed tiap anggota keluarga.
Keluarga bukanlah suatu konsep yang sepatutnya terstandarisasi dengan membenarkan teori satu pihak (RUU Ketahanan Keluarga), dan menelantarkan pemikiran lainnya. Bahkan upaya untuk menstandarisasi bentuk keluarga merupakan penghinaan atas tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, kemampuan anak bertanggung jawab atas keputusannya maupun hubungan antara suami dan istri.
Dalam menjawab persoalan tersebut, telah lebih dari lima dasawarsa PKBI mengenalkan konsep Keluarga bertanggung jawab[2] dengan mengedepankan pada lima dimensi utama yaitu: 1) Dimensi kelahiran, artinya setiap kelahiran itu diharapkan dan merupakan tindakan sadar dan harus direncanakan. Inilah titik awal konsep Keluarga Berencana; 2) Dimensi kesehatan, sikap dan perilaku untuk hidup sehat penting untuk dipromosikan dan diimplementasikan dalam keluarga; 3) Dimensi pendidikan, berarti bahwa anak laki-laki atau perempuan dalam keluarga tidak boleh dibedakan pendidikannya, semuanya harus dilakukan secara dialogis; 4) Dimensi kesejahteraan, yaitu bahwa lebih kepada martabat dari keluarga (being) bukan sekadar memiliki kekayaan (having). Tidak ada artinya kaya tetapi tidak punya martabat; 5) Dimensi masa depan, seluruh keluarga harus disiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, harus dihindarkan keluarga-keluarga yang terperangkap kepada nilai-nilai masa lalu yang konservatif.
Dalam RUU Ketahanan Keluarga, tidak pernah disebutkan “kesetaraan” sebagai indikator untuk mempertahankan keluarga, hal ini tentunya membuat sekat-sekat peran anggota keluarga yang tidak lagi cair. Tanpa adanya kesetaraan, sulit kiranya meraih arti kejujuran sebagaimana yang diidamkan dalam RUU ini. Adanya ketakutan untuk anak menyampaikan hasil pemikirannya dikarenakan posisinya yang seolah tidak berdaya.
Frasa yang kerap muncul dalam RUU Ketahanan Keluarga yaitu pentingnya mengedepankan norma agama dan etika sosial. Akan tetapi hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk kehidupan seksual dan reproduksinya, yang merupakan salah satu dari 10 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), tidak pernah disinggung dalam RUU Ketahanan Keluarga. Sedangkan hak yang dianut pun di dalam RUU ini hanyalah sebatas HAM yang proporsional, yaitu hak asasi yang merupakan dasar hidup manusia terbatas untuk hal-hal yang sekiranya dipandang tepat oleh segelintir orang.
Padahal untuk HKSR sendiri, telah diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya tujuan ketiga dan tujuan kelima, kesehatan dan kesetaraan gender. Artinya RUU Ketahanan Keluarga ini, berpotensi menghambat capaian RPJMN. Bappenas sebagai badan yang mengkordinasikan capaian SDGs tentunya harus melihat RUU ini sebagai sebuah hambatan yang tidak sepatutnya ada.
Selain itu, norma agama dan etika sosial atau lebih tepatnya kepantasan di masyarakat, tidak sepatutnya dibenturkan, Secara konteks, agama seharusnya berada pada tatanan ruang-ruang pemikiran, panduan jiwa dan juga nilai hidup. Sedangkan asas kepatutan berada dalam ranah masyarakat, hal-hal umum yang sebaiknya dipatuhi, karena jika tidak, pengasingan menjadi sanksinya. HAM sendiri merupakan hak yang didapat seseorang ketika dirinya hadir di dunia, tidak dapat dikurangi namun untuk beberapa hak dapat dibatasi. Mencampuradukkan ketiganya, dengan meminggirkan HAM tanpa sebelumnya mengerti esensi dari pembentukan undang-undang sebagai upaya pemenuhan, perlindungan dan penghormatan negara atas hak asasi tiap manusia, adalah suatu kesalahan besar.
Sehubungan dengan keragaman identitas gender dan seksual orientasi, RUU Ketahanan Keluarga menyatakan bahwa LGBT merupakan salah satu “ancaman non-fisik” sebagaimana yang tercantum dalam pasal 50. Selain itu RUU ini juga memasukkan homoseksual sebagai penyimpangan seksual. Dua hal yang patut dikritisi yakni adanya upaya persekusi yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk memberangus hak-hak LGBT sebagai minoritas di Indonesia. Hal lainnya, yaitu adanya upaya untuk pembodohan msyarakat melalui keilmuan semu. Perumus RUU Ketahanan Keluarga benar-benar memghilangkan aspek keilmuan dalam menelaah keragamaan gender dan seksualitas. Pedoman internasional yang diakui secara global pun dicampakkan, hal ini terlihat dalam naskah akademik RUU Ketahanan Keluarga yang tidak menyebutkan DSM V[3] ataupun ICD-10 ataupun 11[4] sebagai acuan.
RUU Ketahanan Keluarga kerap menyimpulkan bahwa Sadisme, Masochisme, dan Homoseks berasal dari rumpun yang sama, yaitu penyimpangan seksual. Dalam RUU ini, sadisme dijabarkan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya (Penjelasan pasal 85 huruf a). Sedangkan masochisme menurut RUU ini adalah kebalikan dari sadisme yakni cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya (penjelasan pasal 85 huruf b). Namun sepertinya perumus kebijakan ini luput untuk mengenalkan kepada masyarakat konsep persenggamaan secara konsensual. Perumus luput menuliskan etika dari S/M itu sendiri, yaitu safe, sane, consent[5].
Safe berarti setiap partisipan atau orang yang tertarik pada persenggamaan S/M harus tahu mengenai teknik yang tepat dalam melaksanakan praktek S/M serta peduli akan faktor keamanan terkait praktek yang akan dilakukan. Tindakan yang dilakukan harus sejalan dengan pengetahuan tersebut. Sane berarti individu yang ada dalam hubungan S/M harus menyadari adanya perbedaan antara fantasi dan realita, karena ada hal-hal yang mungkin menarik secara fantasi terkadang tidak realistis untuk benar-benar dilaksanakan, serta bertindak sejalan dengan kesadaran tersebut. Consent (Consensual), berarti bahwa setiap partisipan harus saling menghormati batas yang telah diterapkan satu sama lain.
Tidak seperti yang dipahami oleh perumus dari RUU Ketahanan Keluarga, S/M biasanya dilakukan oleh para pasangan, bukannya suatu persenggamaan satu malam. Seperti yang diungkap dalam buku BDSM 101[6] karya Jen Miller, “Communication is the key when getting kinky”, artinya komunikasi adalah kunci untuk senggama yang tabu. Dalam senggama S/M tidak hanya memegang erat etik safe, sane, consent, juga tiap tindakan antar pasangan haruslah dibicarakan melalui komunikasi di dalam kamar tidur.
Perumus RUU Ketahanan Keluarga rupanya mencampuradukkan antara kekerasan baik secara verbal dan fisik dengan hubungan persenggamaan aman yang terjadi di dalam kamar tidur yang dilakukan dengan dengan akal sehat dan persetujuan para pihak. Adanya batas-batas privasi rumah tangga orang lain yang coba untuk disusupi oleh pihak-pihak tertentu melalui negara lalu ke masyarakat.
Rehabilitasi sosial di dalam RUU ini seharusnya dipertanyakan. Jika tidak berkesesuaian dengan keilmuan ilmiah maka harus dikemukakan dasarnya lebih lanjut. Disertai dengan bukti-bukti valid secara kualitatif maupun kuantitatif, dengan tetap menelaah dampak lanjutan dari rehabilitasi yang pernah terjadi. Selain itu, Badan yang menangani ketahanan keluarga untuk penanganan krisis karena penyimpangan seksual sebagaimana tercantum dalam pasal 85, melemahkan ataupun mengubah kerja dan pelaksanaan keluarga berencana yang diemban oleh BKKBN yang saat ini sudah memiliki Direktorat Ketahanan Keluarga. Penambahan Badan baru ini overlapping dengan kerja-kerja BKKBN dan Kementerian lain terkait dan menambah beban Negara, serta menjerumuskan Negara ke dalam posisi yang terlalu jauh mengatur kehidupan privasi warga negaranya.
RUU semacam ini malah membuat tingginya angka persekusi terhadap LGBT dan makin banyak pula oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menggunakan RUU ini untuk kepentingan pribadi yg tidak berdasarkan riset dan ilmu pengetahuan atau dikenal dengan pseudoscience. Makin banyak pengobatan alternatif yg tidak pernah terbukti berhasil, sehingga patutlah dipertanyakan dan diuji keabsahan dari klaim “rehabilitasi” yang tersirat dalam RUU ini.
RUU Ketahanan Keluarga juga pada pasal 90 ayat (1) menyebutkan bahwa keluarga dalam situasi darurat adalah keluarga yang menghadapi kondisi dan situasi berbahaya, misalnya di lingkungan tempat tinggalnya terjadi konflik atau bencana sehingga diperlukan penanganan secara cepat. Akan tetapi, dalam RUU ini menegasikan potensi dampak kepada keluarga dengan unit keluarganya merupakan bagian dari kelompok minoritas. RUU ini benar-benar melupakan kekerasan yang akan dipicu dari adanya keluarga-keluarga yang berbeda atau keluarga-keluarga yang tidak sesuai dengan standarisasi dalam RUU ini.
RUU Ketahanan Keluarga berpotensi membebani anggaran negara. Sebab, isi dalam regulasi tersebut hanya bersifat mengulang isi dari regulasi yang sudah ada di Indonesia seperti UU No. 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (PKPK), contohnya terkait dengan peran masyarakat dalam memberikan layanan. Seharusnya RUU Ketahanan Keluarga ini menguatkan UU PKPK bukan melahirkan RUU baru yang meragukan sistem yang telah ada dengan argumentasi seminim mungkin.
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, berkaitan dengan pasal 127 ayat (1) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Sehingga adanya RUU Ketahanan Keluarga hanya akan mengulang ketentuan yang sebenarnya sudah diatur dalam UU Kesehatan.
UU No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, mengedepankan HAM dengan berasaskan non-diskriminasi. Upaya rehabilitasi pada pasal 25 terkait dengan upaya rehabilitatif hanya ditujukan kepada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dan bukan kepada Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Hal ini tentunya selaras dengan Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang jelas menyakatan pada catatan F.66 yaitu: Sexual orientation by itself is not to be regarded as disorder. Sehingga RUU Ketahanan Keluarga bukan hanya conflict of norm dengan UU yang telah ada juga melanggar ketentuan profesi profesional dan bertentangan dengan panduan internasional.
UU No. 1/1974 jo 16/2019 tentang perkawinan, sudah mengatur soal hubugan antara suami dan istri di dalam perkawinan, terlebih lagi Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur ketentuan antara orang yang beragama islam. Akan tetapi dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga ini, terdapat terma yang bercorakkan satu agama saja untuk dapat diterapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam pasal 115, penggunaan kata “kafalah” tidak mengungkapkan pengecualian pada agama lain, sehingga RUU ini tidak menghargai agama/kepercayaan lain, dan kian menebalkan perbedaan.
PP No. 54/2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, juga sudah cukup mengakomodir tata cara pelaksnaan pengankatan anak. Selain itu, pasal 106 dan 107 dari RUU ini disebutkan bahwa pengasuhan anak wajib untuk dilakukan oleh orang tua kandung. Pasal ini menghilangkan aspek pidana dari penelantaran anak, dalam UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Hal ini sangat kontraproduktif, karena seharusnya orang tua yang menelantarkan anaknya dipindana namun pengasuhan atas anak sebelumnya bukanlah suatu kewajiban. Adapun beberapa alasan pengasuhan oleh orang tua kandung bukanlah suatu jawaban. Pidana penelantaran anak-lah yang harusnya dikemukakan, seperti incest, anak hasil perkosaan, maupun anak yang tidak diinginkan oleh orang tua biologisnya seharusnya tidak dipaksakan untuk mengasuh, melainkan dipidana sesuai UU yang berlaku.
RUU Ketahanan Keluarga ini, pada tiap substansinya mengulang tiap-tiap ketentuan yang sebelumnya sudah ada diatur dalam peraturan lain. Hal ini tentunya akan berdampak pada anggaran negara yang berlebih, karena RUU ini tidak hanya memintakan adanya UU baru dengan rasa UU yang telah ada namun juga membentuk sistem keluarga diskriminatif yang memiliki badan tersendiri, peraturan dari hulu ke hilir termasuk pendidikan tinggi profesi, rencana kerja yang berkelanjutan yakni dengan memanfaatkan pelatihan dari konsultan-konsultan yang memiliki visi menyeragamkan setiap keluarga di Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Riska Carolina, SH. MH., Spesialis Advokasi dan Kebijakan Publik PKBI di 081330090410 (untuk whatsapp)
Daftar Referensi
[1] Lebih jauh lihat Kerr, Michael E. “One Family’s Story: A Primer on Bowen Theory.” The Bowen Center for the Study of the Family. 2000. http://www.thebowencenter.org.
[2] Ichsan Malik , Keluarga Bertanggung Jawab dan Toleran, https://pkbi.or.id/keluarga-yang-bertanggung-jawab-dan-toleran/, diakses 19 Februari 2020.
[3] Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition adalah pembaharuan tahun 2013 dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, alat taksonomik dan diagnostik yang diterbutkan oleh American Psychiatric Association.
[4] ICD 10 (International Classification of Disease) oleh WHO digunakan sebagai Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III di Indonesia, bahkan DI 2018 WHO mengesahkan ICD 11, dan dipresentasikan pada 2019 untuk selanjutnya diadopsi oleh seluruh anggota WHO, berlalu di 2022
[5] Rubel, R. J., & Fairfield, M. (2013). BDSM Mastery-Basics: Your Guide to Play, Parties, and Scene Protocols. Austin: Red Eight Ball Press. Dan lihat juga Melinda Holmes, 50 Shades of Better Sex: Her Guide to Spicing Up Relationship, Exploring Fantasies & Introducing BDSM to the Bedroom, e-book, 2013.
[6] Jenn Miller, BDSM 101, NY: Skyhorse Publishing, 2013.