Kematian Ibu dan Upaya-Upaya Penanggulangannya
30 March 2018
Kerentanan Berbasis Gender pada Situasi Bencana
26 April 2018
Show all

Selain Kartini di Hari Kartini

Oleh: Arief Rahadian

 

Narasi tentang perjuangan perempuan pada masa kolonial umumnya dilekatkan pada figur Kartini, seorang intelektual muda yang menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia, khususnya dalam akses terhadap pendidikan. Namun fakta sejarah menunjukkan bahwa selain Kartini, terdapat tokoh perempuan lain yang turut memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender pada masa tersebut. Namanya Sekar Kedhaton.

Kisah perempuan revolusioner ini agaknya menjadi bukti bahwa perjuangan kaum perempuan di Indonesia telah dimulai sebelum lahirnya Kartini.

Sekar Kedhaton, Sang Kembang Istana

Putri Sekar Kedhaton merupakan anak dari Pakubuwana VII, raja Kasunanan Surakarta yang memerintah dari tahun 1830 sampai tahun 1858. Kisah tentang perjuangan Sekar Kedhaton melawan konstruksi gender yang kaku pada masa tersebut dinarasikan secara baik oleh Nancy Florida – seorang Indonesianis sekaligus peneliti naskah-naskah kuno Jawa – dalam tulisannya yang berjudul “Sex Wars: Writing Gender Relations in Nineteenth-Century Jawa”.

Dalam tulisan-tulisannya, Florida menjelaskan bahwa kala itu, Putri Sekar Kedhaton merupakan sosok perempuan idaman dari seorang pangeran muda, – yang kemudian naik takhta menjadi raja pada tahun 1893 – Pakubuwana IX.

Pakubuwana IX muda tergila-gila dengan Sekar Kedhaton. Bahkan, dirinya kerap menulis lirik-lirik puisi erotis untuk mengekspresikan cintanya terhadap Sekar. Sekar Kedhaton, di sisi lain, merupakan sosok yang berbeda dengan perempuan-perempuan Jawa lain pada masa tersebut.

Sekar merupakan sosok yang revolusioner sekaligus penuh dengan empati. Berbeda dengan ayahnya, Sekar mendukung kedaulatan penuh Kasunanan Surakarta di atas tanah Surakarta. Selain itu, ia bahkan bersedia untuk naik takhta sebagai penguasa Surakarta; sesuatu yang pada kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Sosoknya yang berbeda inilah yang agaknya membuat Pakubuwana IX – yang juga adalah sepupu Sekar – bersikukuh untuk mencoba meminang Sekar, selama hampir 20 tahun lamanya.

Sosok Intelektual dan Spiritual

Sekar secara konsisten menolak pinangan dari Pakubuwana IX. Alih-alih menjadi istri seorang pangeran, atau bahkan raja, Sekar memilih untuk hidup sebagai perawan dan mengembangkan kapasitas spiritual dirinya.

Sekar Kedhaton kemudian dikenal sebagai seorang wanita dengan kesaktian luar biasa, seorang penulis, seorang intelektual, dan seorang pengelana. Kisah-kisah mistis Sekar Kedhaton masih terus diceritakan oleh masyarakat Surakarta hingga saat ini. Salah satunya adalah kisah tentang perjalanan spiritualnya ke Mekkah, yang ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam saja.

Dikisahkan bahwa Sekar Kedhaton secara rutin melaksanakan shalat Isya di Mekkah dan kembali ke istana sebelum malam berakhir, dengan rumput-rumput liar yang tersangkut di ujung roknya. Rumput-rumput tersebutlah yang kemudian menjadi bukti perjalanan spiritual Sekar ke Mekkah, karena jenis rumput tersebut hanya dapat tumbuh di daerah Arafah, Mekkah.

Akhir Hayat dan Peninggalan

Sekar Kedhaton menghabiskan masa tuanya dalam kegelapan. Ia mengalami kebutaan akibat praktik ritual mistis, yang mengharuskan dirinya untuk menatap matahari. Sekar meninggal pada tahun 1917, dan dimakamkan layaknya seorang istri raja – sebuah ritual yang dapat diartikan sebagai penghormatan, atau penghinaan, karena Sekar tidak pernah menjadi istri raja manapun.

Keberanian Sekar untuk menolak pinangan pangeran – yang kemudian menjadi raja – merupakan simbol perlawanan terhadap ideologi patriarki yang kental di masyarakat Jawa kuno. Pada masa tersebut, praktik poligami dan pengangkatan selir merupakan hal yang wajar, dan Sekar menolak kedua praktik tersebut. Pilihannya untuk menjadi intelektual sekaligus tokoh spiritual agaknya menegaskan bahwa dalam masyarakat Jawa kuno, perempuan memiliki pilihan untuk tidak tunduk terhadap laki-laki. Sikap Sekar Kedhaton inilah yang disinyalir menjadi referensi bagi Kartini, ketika menegaskan bahwa dirinya menolak praktik poligami.

Kisah Sekar Kedhaton juga menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan tidak melulu harus melibatkan gerakan sosial yang masif dan upaya-upaya untuk mengubah struktur kebijakan. Keputusan Sekar Kedhaton untuk menolak ideologi patriarki yang melekat di masyarakat Jawa kuno – meskipun terkesan sebagai sebuah pilihan personal alih-alih perjuangan kelompok – juga dapat dimaknai sebagai bentuk perjuangan kaum perempuan. Kisah Sekar membawa riak, dan menjadi salah satu batu tumpuan bagi para pejuang hak-hak perempuan di masa yang akan datang untuk mengambil keputusan yang sama: melawan patriarki.

 

Referensi:

Florida, Nancy K., “Sex Wars: Writing Gender Relations in Nineteenth-Century Java”, dalam Jane. L. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Duke University Press, Durham and. London, 1996.