Oleh: Riska Carolina*
Kasus perkosaan yang dilakukan kakak laki-laki AS (18) kepada adik perempuannya WA (15) di Jambi beberapa waktu lalu menjadi momentum pembuktian bahwa pentingnya edukasi seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sekaligus juga perlunya untuk pembaharuan hukum yang melindungi korban; baik anak, perempuan dan kelompok rentan. Kasus tersebut telah diputus pada kamis 19 Juli 2018 oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian. Hal yang mengherankan adalah korban juga dipenjara karena dianggap melakukan aborsi.
Pembaharuan hukum pidana yang digagas pemerintah bekerja sama dengan DPR melalui RKUHP seharusnya menjadi titik awal pencapaian baru moralitas Indonesia yang berkemanusiaan. Menilik kasus WA dengan kacamata RKUHP, ada beberapa faktor implisit penyebab yang dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan tentatif.
Pertama, kurangnya pengetahuan seksualitas dan pendidikan terkait kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi remaja. Kedua, perlunya pembaharuan hukum pidana yang mendukung terwujudnya kesadaran akan seksualitas dan kesehatan reproduksi untuk menjadikan masyarakat yang bertanggung jawab. Ketiga, penguatan pemahaman pejabat publik dan aparat penegak hukum dalam menangani, mengayomi dan mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Pentingnya Edukasi Seksualitas dan Kespro
Akses layanan dan informasi seputar alat pencegah kehamilan (termasuk kontrasepsi), aborsi aman, pengetahuan komprehensif mengenai ekspresi gender, identitas seksual, ketubuhan, dan lainnya penting sekali untuk dibicarakan. Sayangnya, ini selalu tabu untuk didiskusikan dalam konteks informasi dan pendidikan.
Tuduhan-tuduhan miring yang dilontarkan pejabat publik terhadap pemberi akses layanan dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi semakin menjauhkan remaja dari kebutuhan mendasar mereka yakni rasa keingintahuan. Remaja sekarang ini lebih mempercayai mitos-mitos yang mengakar sedari dulu. Padahal sudah sepatutnya menjadi tugas dari pemerintah dan masyarakat untuk memberikan akses dan pengetahuan mengenai akses layanan dan pengetahuan seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi.
UU No 36 Tahun 2009 Pasal 136 dan 137 telah menyebutkan pentingnya upaya-upaya yang dilakukan baik pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi akses informasi dan edukasi berkaitan dengan akses layanan dan pengetahuan yang menyeluruh mengenai segala aspek kesehatan baik secara fisik dan psikologis, agar remaja tersebut dapat menentukan pilihannya secara bertanggung jawab.
Jika seandainya saja, RKUHP dapat mengakomodir dengan menjamin akses layanan dan informasi terhadap alat pencegah kehamilan dalam Pasal 443 dan 445, kasus-kasus kekerasan seksual dapat dicegah. Karena ketika akses informasi mengenai alat pencegah kehamilan diberikan, maka akan diikuti oleh keinginan untuk mengakses informasi seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Penelitian yang dilakukan di 11 sekolah daerah oleh Seperlima dalam rentang waktu 2012-2014 menyebutkan bahwa siswa remaja hanya 27,9% mengetahui hak kesehatan reproduksi mereka; 26,7% mengetahui apa saja layanan reproduksi itu; hanya 12,7% dari mereka yang memahami proses pubertas dan 8,5% dari mereka memahami sistem organ reproduksinya.
Hal ini cukup membuktikan bahwa UU Kesehatan belum diupayakan dengan maksimal. Remaja termakan mitos yang dipupuk sedari dulu, lalu dikuatkan dengan kebijakan Pemerintah yang diskriminatif, dengan metode menebar ancaman untuk mengharapkan efek jera di kalangan remaja. Jika sudah begini, remaja cenderung takut untuk mengakses informasi seksualitas dan kesehatan reproduksi. Belum lagi, Pemerintah memberlakukan kontrol yang berlebihan terhadap informasi tersebut dengan kontrol dan pembatasan dunia digital.
Tantangan ke Depan
Pasal-pasal di dalam RKUHP yang berhubungan dengan aborsi aman jika disandingkan dengan kasus WA yang terjadi baru-baru ini adalah sebuah bentuk bukti bahwa pemerintah memandang sebelah mata aborsi aman. WA dibantu ibunya untuk melakukan aborsi yang tidak aman dengan melakukan pijatan pada perut yang mengakibatkan keguguran. WA dikenakan pidana penjara 6 bulan sedangkan pelaku perkosaan yang merupakan kakaknya sendiri dihukum 2 tahun penjara.
Hal ini menunjukkan adanya masalah yang kasat mata namun kerap kali tidak diindahkan oleh pemangku kebijakan. Narasi dalam promosi kesehatan reproduksi dikaburkan menjadi informasi yang sarat akan stigma dan meninggikan sisi moralitas nan tabu yang tidak terungkapkan akar kebenarannya.
Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang menjatuhi hukuman kepada WA 6 bulan penjara menggunakan UU. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ini merupakan kesalahan berpikir. Dari sini seharusnya bisa dilihat bahwa rancangan peraturan yang dinilai baik – seperti UU Perlindungan Anak – saja bisa dibelokkan menjadi suatu putusan yang tidak berperspektif korban. Apalagi jika sampai RKUHP pasal-pasal aborsi disahkan, maka akan banyaknya perempuan lain seperti WA yang akan menjadi korban kekerasan seksual dan dihukum.
Pasal di RKUHP akan sangat mungkin untuk mengkriminalisasikan perempuan yang melakukan aborsi aman. Padahal, alasan perempuan melakukan aborsi tidak selalu dikaitkan dengan norma kesusilaan. Banyak alasan lainnya, salah satunya adalah mengenai perkosaan. Pusat Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menyatakan, pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan bahwa sekitar dua juta aborsi terjadi. Namun, tidak semua aborsi tersebut dapat dipastikan keamanannya.
Selanjutnya data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 menyebutan dari 4.5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia, 17% dari dari kelahiran yang terjadi adalah kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan. WHO telah memperhitungkan hal ini, karena pada tahun 2007, WHO mengestimasikan aborsi yang tidak aman bertanggung jawab pada 14% dari kematian perempuan di Asia Tenggara, dan angka ini meningkat menjadi 16% untuk negara dengan hukum aborsi yang sangat ketat, termasuk Indonesia.
Data PKBI pada 2010-2013 dari 13 klinik di Indonesia menunjukan bahwa sebagian besar klien sudah mencoba tindakan terminasi kehamilan sebelum datang ke klinik PKBI dengan presentase 48%. SDKI 2012 melaporkan angka rasio angka kematian perempuan hamil di Indonesia meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup, menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, dimana aborsi juga menjadi penyumbang kematian perempuan. Rasio angka kematian perempuan hamil masih sangat tinggi jauh dari target pencapaian MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Di Indonesia layanan aborsi dapat diakses namun sangat terbatas (restricted) seperti yang tertera dalam UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi. Aborsi diperbolehkan apabila diakibatkan oleh perkosaan atau terdapat indikasi kedaruratan medis. Dalam PP tersebut juga disebutkan aborsi boleh dilakukan jika usia janin tidak lebih dari 40 hari. Secara umum aborsi masih dianggap sebagai tindak kriminal dan masih ada stigma yang kuat dari masyarakat terhadap perempuan yang melakukan tindakan aborsi.
Negara harus mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi jika aborsi aman diperketat. Termasuk kemungkinan jika masyarakat akan memilih aborsi yang tidak aman. Canes-Wrone dan Dorf dalam Jurnal Cornell Law School (2015), pernah meneliti peraturan di beberapa Negara bagian di Amerika Serikat yang membatasi aborsi aman terkait dampaknya pada efek jera. Hasilnya, setiap jenis pembatasan hukum secara signifikan mengurangidampak lanjutan dari aborsi yang akan sangat berpotensi pada keselamatan maternitas dan stigmatisasi pada korban perkosaan.
Pada hari Senin (27/8), Hakim di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jambi memutuskan bahwa aborsi tersebut dilakukan dalam keadaan darurat. Sehingga kemudian dakwaan aborsi dicabut dan WA dinyatakan bebas. Sejak mencuatnya kasus ini, berbagai elemen masyarakat sipil terus menyuarakan tuntutan untuk membebaskan WA. Ketua Pengurus Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Sarsanto Wibisono Sarwono seperti yang tertuang dalam peryataan sikap PKBI (23/7) menyerukan bahwa kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan haruslah menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan. Belum lagi jika korban perkosaan adalah anak di bawah umur.
Kasus WA adalah pil pahit dari Negara untuk warganya dengan melanggengkan efek jera kepada korban kekerasan seksual melalui penghukuman. Korban dan orang tuanya didera ketakutan untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi maupun memeriksakan kondisi kehamilannya, termasuk mendapatkan akses layanan aborsi aman. Sementara itu, di sisi lain putusan hakim yang tidak berperikemanusiaan dan bias hukum semakin menempatkan perempuan dalam jurang kriminalisasi.
RKUHP diharapkan akan menjadi oasis ke depannya yang dapat mengurangi efek jera terhadap hal-hal yang berkaitan dangan seksualitas. Namun hal tersebut rasanya tidak dapat terjadi jika rancangan di dalam draft KUHP baru ini masih mengkriminalisasi perempuan untuk memperoleh akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi komprehensif, termasuk aborsi aman.
*Advokat dan Spesialis Kebijakan Publik PKBI