Di tengah pandemic Covid-19 ada sebuah peristiwa pada 3 Mei 2020 yaitu beredar video Youtube dari Ferdian Paleka yang melakukan prank kepada beberapa transgender dengan memberikan kardus berisi batu dan sampah. Video tersebut mendapatkan beragam respon dari masyarakat, salah satunya adalah adanya pihak-pihak yang menyebarkan video yang bersifat hate speech kepada kelompok transgender. Merespon hal tersebut, PKBI bersama Koalisi Kami Berani mengadakan Diskusi Publik: Ujaran Kebencian terhadap Kelompok LGBTIQ, Bagaimana Negara seharusnya Bertindak? (19/05/2020). Diskusi ini mengundang Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dan Komisoner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, Citra dari Jaringan Transgender Indonesia, dan Pratiwi Febry, Pengacara HAM sebagai moderator diskusi. Fokus diskusi adalah pada ujaran kebencian yang berujung pada diskriminasi, kekerasan dan kebijakan-kebijakan diskriminatif.
Perwakilan LGBT khususnya transpuan, Citra memulai presentasinya dengan menjelaskan kondisi rekan-rekan transpuan di kala covid. Menurutnya, transpuan sebagai kelompok yang paling rentan dan terlihat, menderita paling banyak di masa Covid-19. Komunitas LGBT terutama transpuan tak jarang dijadikan kambing hitam, atas penyebaran Covid-19, yang membuat mereka jauh dari akses bantuan. Data dari Koalisi Crisis Respond Mechanism (CRM), sebanyak 640 transpuan di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang kesulitan mengakses bantuan sembako yang dibagikan oleh pemerintah hanya karena tidak memiliki KTP. Ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi diri, termasuk untuk makan sehari-hari.
“Di kala pandemik Covid-19, transpuan banyak mengalami intimidasi dan diskriminasi dari berbagai pihak. Transpuan juga banyak yang tidak memiliki kartu identitas dan tinggal berpindah kota sehingga hanya menerima sedikit sekali bantuan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup. Pemerintah dalam hal ini juga tidak melihat transpuan sebagai bagian dari masyarakat”, aku Citra menjabarkan datanya.
Selain Kasus Ferdian Paleka, ada dua kasus lainnya yang disorot media yaitu Kasus Mira, dan Kasus Pemuda Santri. Pada Kasus Mira, meninggalnya transpuan karena dibakar hidup-hidup oleh enam orang yang tidak dikenal. Sedangkan kasus lainnya adalah Kasus Pemuda Santri. Dukungan atas prilaku Ferdian Paleka dengan menyatakan bahwa berdasarkan salah satu ajaran agama tertentu, transgender boleh dibunuh dan dilempari dengan batu.
Dukungan Negara Menghentikan Ujaran Kebencian
Menanggapi hal tersebut Komnas HAM melalui Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa ujaran kebencian merupakan pelanggaran atas kebebasan berekspresi dan berpendapat karena ujaran kebencian dilakukan tanpa akal sehat, dan merendahkan harkat dan martabat manusia, termasuk ujaran kebencian yang dilemparkan kepada LGBT. Menurutnya saat ini masalah yang dihadapi oleh LGBT tidak hanya ujaran kebencian, namun juga perjuangan Hak. Tantangan perjuangan Hak LGBT tidak dapat dihadapi sendiri sehingga membutuhkan strategi baru.
“Ini perlu strategi baru agar kesetaraan hak, persamaan layanan publik dan lain sebagainya dapat dikedepankan, serta strategi dalam sosial masyarakat yang saat ini semakin membatasi kebebasan berekspresi kelompok LGBT”, ungkapnya.
Mengelaborasi strategi yang diungkapkan Komnas HAM, Komnas Perempuan melalui Theresia Sri Endras Iswarini, mengungkapkan bahwa kedua lembaga perlu memastikan sinergitas kerja bersama. Selain itu Komnas Perempuan juga ke depannya akan memastikan LPSK juga terlibat dalam perlindungan saksi dan korban. Hal tersebut menindaklanjuti kerja sama Komnas Perempuan dengan LPSK untuk memberikan akses perlindungan dari LPSK bagi para perempuan korban kekerasan, termasuk transpuan. Penting juga untuk Lembaga Negara mendorong Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian diberlakukan dengan perspektif keberpihakan yang kuat.
“Kedepannya Komnas Perempuan bisa melakukan kerja sama atau menguatkan kerja sama dengan lembaga NKRI lain dan untuk SE Kapolri 2015, masyarakat sipil dapat membantu kami dengan membuat policy brief yang lebih berperspektif korban”, ungkap komisioner yang juga disapa Rini ini.
Di Indonesia tidak ada satu acuan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan hate speech/ujaran kebencian. Indonesia hanya memiliki Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 yang dikeluarkan pada 8 Oktober 2015 yang mengatur bahwa hate speech adalah ujaran yang memiliki dampak merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan. SE Kapolri juga mencatat ujaran kebencian dapat mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan dan bahkan pembantaian etnis atau genosida. Masalah ujaran kebencian harus serius ditangani dengan baik karena merongrong prinsip berbangsa dan bernegara. Pratiwi Febry menjelaskan bahwa Kasus Rwanda, Afrika Selatan adalah contoh yang tepat untuk menunjukkan dampak dari ujaran kebencian. Pola ujaran kebencian di Indonesia juga nampak pada kasus bersinggungan dengan LGBT.
“Sebenarnya menyangkut tentang hate speech ini, SE Kapolri secara eksplisit juga menyatakan bahwa ujaran kebencian menyerang kelompok yang dibedakan dari aspek gender dan orientasi seksual, itu berarti kawan-kawan LGBT juga sudah sepantasnya untuk terlindungi”, Ujar Mantan Direktur LBH Jakarta ini menutup diskusi.
Penulis: Riska Carolina