Pembahasan RKUHP kembali diangkat oleh DPR dan Pemerintah. Di awal April lalu, DPR menyatakan akan mengesahkan RKUHP hanya dalam waktu 1 minggu. Diketahui juga melalui keterangan dari Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 8 April 2020 Pemerintah melakukan pembahasan RKUHP secara internal, tanpa akses pembahasan yang terbuka.
Koalisi PEKAD sangat menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang seolah ‘mengelabui’ rakyat dengan mengadakan berbagai rapat pembahasan RUU bermasalah, di tengah kesulitan rakyat menghadapi situasi pandemi, yang sekarang disusul dengan kondisi ancaman jatuhnya banyak masyarakat ke jurang kemiskinan.
Ada atau tidak adanya kondisi pandemi, RKUHP harus dibahas secara komprehensif. PEKAD kembali mengingatkan – jika lupa, bahwa RKUHP oleh Presiden Joko Widodo ditunda pengesahannya pada 20 September 2020 lalu dengan alasan bahwa RKUHP bermasalah dan pemerintah diperintahkan untuk menghimpun masukkan kembali – bukan membahas sembunyi-sembungyi dan mengesahkan tiba-tiba di kondisi rakyat kesulitan.
Salah satu materi yang jadi perdebatan di RKUHP adalah soal aspek privasi warga negara dan keluhuran Pancasila yang berusaha diretas oleh Pemerintah dan DPR lewat rumusan RKUHP, yaitu adanya kriminalisasi zina dan kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri. Dalam Pasal 417 ayat (1) dan Pasal 418 (1) RKUHP versi full September 2019, dimuat kriminalisasi setiap orang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dan kriminalisasi melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dengan ancaman pidana penjara 1 tahun atau denda maksimal Rp 10 juta. Dalam telaah pengakuan agama lewat Pancasila dan diskursus tentang batasan hukum pidana, pasal-pasal tersebut tidak layak diatur sebagai tindak pidana oleh kewenangan negara.
Hubungan Intim di luar nikah tidak melanggar hukum Islam sesuai tafsir Muhammad Syahrur. Dalam Al-Quran tak ada definisi zina dan hanya disebut larangan berzina. Sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an ayat terkait zina terdapat pada Surat al-Isra (32) yang memiliki arti “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. Definisi zina berasal dari para ulama yang kemudian dikodifikasikan dalam fiqh atau tradisi hukum Islam. Apabila suatu hubungan itu dilakukan di ruang privat, berlandaskan suka sama suka, di mana keduanya sudah dewasa, dengan tidak ada unsur penipuan ataupun bujuk rayu maupun pemaksaan, dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut zina. Maka hubungan tersebut halal.
Selain itu dalam pembahasan Pancasila, tentang sila kesatu, tentang agama, Ir. Soekarno, pendiri bangsa Indonesia menyatakan
“Agama tidak membutuhkan territory, agama cuma mengenai manusia. Tapi lihat, orang yang beragama, — aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang Kristen di Belanda beragama, orang Inggris yang duduk di London beragama, pendeknya orang beragama dalam agamanya tidak mengenal territory, kalau ia memindahkan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh tidak harus berdiri di atas territory, di atas wilayah….. Jadi, Saudara saya ulangi, salah paham letaknya disitu. Tidak bisa membedakan antara apa yang diartikan dengan agama, apa yang diartikan dengan negara.”
Dalam Pembahasan Pancasila ini telah tersirat bahwa pendiri bangsa ini mengakui keluhuran agama di Indonesia, bahwa agama harus selalu lebih tinggi dibandingkan dengan negara, bahwa agama tidak mengenai wilayah keberlakuan. Memaksakan nilai agama pada kewenangan negara dengan mengkriminalisasi suatu perbuatan yang menurut agama dilarang justru mengambil peran tuhan dan menyerahkannya apa tangan aparat, yang mana merupakan manusia. Seharusnya kewajiban untuk tidak berzina menjadi ruang spiritualitas seseorang yang menegakkannya berdasarkan kepercayaan kita kepada agama yang melarang, dan kepercayaan kita tentang ganjaran yang akan didapat jika patuhi, atau dilarang.
Menegakkan sila kesatu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti menurunkan derajat Tuhan kepada tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan lewat hukum pidana. Belum lagi, zina dalam tanda kutip secara keilmuan baik dari sisi agama maupun interdisiplin ilmu belum dapat dijelaskan secara pasti. Meletakkan peran ketuhanan kepada aparat penegak hukum, hanya akan menimbulkan upaya main hakim sendiri di masyarakat. Tidak lekang dalam ingatan di 2017 lalu, kasus Cikupa ketika dua orang yang menjalin relasi digrebek oleh warga sekitar dengan tuduhan zina yang tidak terbukti; atau ketika sekelompok mahasiswa di Surabaya, menelurkan ide Celup (Cekrak, Cekrek, Upload) untuk melanggar privasi orang lain yang berpacaran di sekitarnya dengan difoto dan diunggah ke media sosial.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU Peradilan Agama juga telah memberi pandangan atas paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. Menurut Mahkamah Konstitusi, telah tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
Politik hukum pidana mendasari penyusunan pembaharuan hukum pidana dengan menyeleksi keputusan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan atau tidak. Menurut Muladi, kriminalisasi dan dekriminalisasi harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut : (i) kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; (ii) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; (iii) kriminalisasi harus mengandung unsur korban, baik secara aktual maupun potensial; (iv) kriminalisasI harus mempertimbangkan analisa biaya dan hasil (cost benefit principle); (v) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); (vi) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”; (vii) kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitiet (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat meskipun kecil sekali; (viii) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Husak dalam Overcriminalization: The Limits of Criminal Law menyatakan bahwa keputusan untuk mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan tersebut harus diambil dengan memperhatikan syarat paling mendasar untuk menciptakan tindak pidana, yaitu adanya kepentingan yang bersifat substansial dari Negara dan kebermanfaatan fungsi hukum untuk mendukung kepentingan Negara tersebut.
Tidak ada kepentingan negara untuk mengkriminalisasi hubungan seksual dalam ruang privasi, tanpa adanya paksaan/kekerasan dan tanpa melibatkan anak/ usia dibawah 18 tahun. Jika negara memaksakan pasal ini yang terjadi justru kewenangan, penegakan hukum akan bertumpu pada pengakuan dengan resiko rentan praktik penyiksaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Naila Rizki dalam diskusi online Pekad 6 Mei 2020, penetapan pidana harus benar-benar dipikirkan manfaatnya dari mudaratnya.
Maka dari itu, Koalisi PEKAD kembali untuk mengingatkan DPR dan Pemerintah untuk tidak membahas RKUHP di masa pandemi. Sangat tidak etis, ketiga Pemerintah dan DPR membahas ruang privat warga negara di kala pandemi, ketika masyarakat sipil dalam kondisi normal sulit untuk mendapatkan akses informasi RKUHP.
Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19)
PKBI, Pamflet Generasi, ICJR, ASV, Arus Pelangi, SEJUK, PurpleCode Collective, LBH Masyarakat, SGRC.
Narahubung:
Maidina (ICJR) 085773825822
Riska (PKBI) 081330090410