Aceh Youth Town Hall, Kaum Muda Peduli Malnutrisi
11 September 2019
Liputan Media : Gabungan LSM Makassar Minta Pemerintah Tunda Pengesahan RKUHP
12 September 2019
Show all

Siaran Pers : RKUHP TUNDA! ATAU RAKYAT TARUHANNYA

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Diskursus pembahasan RKUHP sudah berlangsung sejak lama. Keseriusan Pemerintah untuk membahas RKUHP dalam beberapa tahun terakhir setidaknya mulai mengerucut di 2015 ketika RKUHP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Kini pengesahan RKUHP tinggal menunggu waktu saja. Rencana pengesahan akan dilakukan sebelum DPR menutup masa bakti anggota legislatif periode 2014-2019.

Mencermati masih banyaknya pasal-pasal yang bermasalahan di RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak DPR untuk menunda pengesahan RKUHP di periode sekarang. Aliansi menilai pengesahan yang rencananya dilaksanakan pada 24 September 2019 sebagai tindakan yang terburu-buru. Selain itu, dalam prosesnya, RKUHP sendiri juga tidak melibatkan publik dalam belum menyentuh semua kalangan.

Menunda RKUHP untuk disahkan bukan berarti menolak RKUHP. Aliansi juga menyadari pentingnya memiliki KUHP baru yang berlandaskan pada Hak Asasi Manusia, berkeadilan gender, dan sesuai dengan perkembangan hukum pidana modern. Aliansi meminta adanya perbaikan dan penghapusan beberapa pasal yang akan memberangus kebebasan sipil.

Adapun beberapa pasal yang menjadi perhatian dan dinilai mendesak untuk dibahas ulang, yakni:

1. Isu Kesehatan (Aborsi, Alat Kontrasepsi, Zina dan Kohabitasi):

Pasal 470 ayat 1 yang mengatur tentang Aborsi1. Pasal ini merupakan bentuk diskriminasi bagi perempuan karena dapat mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dan memutuskan untuk aborsi. Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi. Selain itu pasal ini bertentangan dengan UU Kesehatan tahun 2009 dalam pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi jika berada dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan akibat perkosaan.

Angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman di Indonesia yang cukup tinggi memperlihatkan bahwa negara lalai dalam memberikan perlindungan atau penyediaan layanan medis (layanan aborsi yang aman) bagi perempuan. Alih-alih menggunakan data tersebut sebagai tolak ukur untuk memperbaiki pemberian layanan kesehatan, pemerintah malah tetap mengedepankan pemidanaan bagi perempuan yang melakukan tindakan aborsi.

Pasal 414 tentang alat kontrasepsi2 Secara keseluruhan pasal ini dapat menghambat penyebaran informasi terkait alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini juga sangat kontra dengan program KB milik pemerintah yang mencanangkan penurunan angka kelahiran. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah pasal ini dapat berdampak mengkirminalisasi beberapa profesi seperti pengusaha retail, apabila menampilkan alat kontrasepsi di tokonya dan dilihat oleh anak. Selain itu seorang pekerja media pun dapat dikriminalisasi apabila melakukan pemberitaan atau membuat konten edukasi terkait kesehatan reproduksi yang menampilkan atau menjelaskan mengenai alat kontrasepsi. Frasa “pejabat berwenang” juga sangat mungkin membawa Indonesia ke era kegelapan dalam kesehatan reproduksi. Di saat arus informasi tidak dapat lagi dibendung, kriminalisasi menjadi jalan pendidikan kesehatan reproduksi.

Pasal 417 dan 419 yang mengatur tentang Perzinaan dan Kohabitasi, sangat berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Pasal 417 ayat 1 menyebutkan “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1

1 “Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”
2 “Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori
I.”
(satu) tahun atau denda Kategori II”. Sedangkan pasal 419 ayat 1 menyebutkan “Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II”. Pasal ini patut ditolak karena keterlibatan negara sudah terlalu jauh ke ranah privasi dan melanggar hak atas privasi, sebagaimana sudah diatur dalam pasal 28G ayat 1 UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2005 yang menyediakan jaminan hukum akan perlindungan hak atas privasi tersebut. Secara tidak langsung kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi – ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan – adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi. Selain itu kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP juga kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti.

Pasal 432 tentang Penggelandangan3, dalam RKUHP unsur tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang diterlantarkan keluarganya dan anak yang hidup di jalan. Selain itu juga akan berdampak cukup signifikan terkait dengan program-program pemerintah dalam hal kesehatan. Secara logika sulit untuk diterima seorang gelandangan di jalan diwajibkan untuk membayar denda 1 juta rupiah. Padahal adanya penggelandangan adalah bentuk kegagalan negara memenuhi kesejahteraan warga negaranya. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kriminalisasi semestinya ditujukkan ke mereka yang mengorganisir penggelandangan, bukan individu yang melakukan penggelandangan.

Pasal 611- 616 tentang Pengaturan tindak pidana narkotika dalam RKUHP, Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat, yang harus ditekankan kembali adalah aspek ketersediaan narkotika adalah kebijakan administrasi bukan pidana, hal tersebut tidak bisa diatur dalam KUHP yang sifatnya tidak dinamis dan tidak menyertakan ketentuan administrasi misalnya jaminan rehabilitasi dan penggolongan narkotika. Pengaturan yang dimuat dalam RKUHP sekalipun tidak menyelesaikan masalah-masalah dalam UU 35/2009, yang harus dilakukan adalah menjamin proses revisi UU 35/2009, menjamin dekriminalisasi setiap pengguna dan pecandu narkotika dan menjamin hak atas rehabilitasi diberikan. Tidak ada pilihan lain, tindak pidana narkotika harus keluar dari RKUHP.

2. Isu Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Memasukkan pasal tipikor di dalam RKUHP berpotensi memunculkan permasalahan yakni dualisme aturan yang mengatur tentang tipikor. Adapun pasal yang bermasalah adalah 604, 605 & 607, di mana pasal-pasal tersebut memiliki pidana yang rendah dibanding dengan pidana yang ada di Undang-Undang Tipikor. Hal ini juga berpotensi menimbulkan praktik transaksional yakni terjadinya jual beli pasal. Bobot keseriusan dari sebuah UU yang bersifat lex specialis (khusus) akan turun ketika dimasukkan ke dalam RKUHP.

RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam UU Tipikor yakni Pasal 15 mengenai percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang selesai dilakukan (delik penuh). Pasal tipikor yang masuk dalam RKUHP tidak mengenal pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

3. Isu Makar
Pasal makar yang terdapat pada Pasal 167 dinilai bermasalah dari pendefinisiannya. Makar disebutkan sebagai perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut”. Pendefinisian ‘Makar’ dalam RKUHP tidak sesuai dengan kata ‘Makar’ yaitu ‘aanslag’ yang artinya serangan. Dalam bahasa Belanda, istilah ini juga memiliki arti ‘striking’ yaitu ‘penyerangan’ atau attempt on man’s live dalam Bahasa

3 Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Inggris. Definisi di RKUHP cenderung mendefinisakan ‘Makar’ menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berkespresi dan berpendapat masyarakat sipil. Termasuk seruan untuk mengkritik pemerintah seperti protes dan aksi menyampaikan aspirasi di muka publik dapat dikategorikan makar. Hal ini disebabkan karena makar diputarbalikan menjadi berbeda arti dari percobaan. Pembatas jelas antara makar dengan kebebasan berekspresi yakni makar atau ‘aanslag’, ada niat dan percobaan untuk menjatuhkan suatu pemerintahan, sedangkan aksi-aksi spontan untuk menyampaikan protes dan aspirasi adalah ekspresi yang sah yang dijamin oleh konstitusi.

Selain itu, dalam RKUHP juga masih menyertakan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan negara demokratis.

a. Penghinaan terhadap Bendera (Pasal 234-235 RKUHP versi 28 Agustus 2019)
Masih ada kriminalisasi perbuatan formil (tanpa memandang niat yang harus berupa penodaan bendera), yaitu perbuatan: memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apapun pada bendera negara; atau memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus Barang, dan tutup Barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara. Pemidanaan untuk perbuatan dengan maksud menodai bendera terlalu tinggi (paling lama 5 tahun)

b. Penghinaan Presiden (Pasal 218- 220 RKUHP versi 28 Agustus 2019)
Dalam putusan MK Nomor 013-022/puu-iv/2006 yang menghapus pasal penghinaan presiden Mahkamah berpendapat, bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis menjunjung tinggi hak asasi manusia sesuai dengan UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidana-nya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 tentang penghinaan presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Dalam pertimbangannya pada halaman 61 putusan pun, MK menyatakan dalam RUU KUHPidana harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana, dijelaskan “sama atau mirip” dengan pasal penghinaan presiden tidak sejalan dengan negara demokratis. Yang paling mendasar bahwa mengubahnya menjadi delik aduan tidak membuat pasal itu menjadi sejalan dengan ciri negara demokratis.

c. Penghinaan terhadap Pemerintah yang sah (Pasal 240-241 RKUHP versi 28 Agustus 2019) Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/200, mengubahnya menjadi delik materil tidak menjelaskan layaknya pasal ini diatur. Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada admisitrasi negara.

d. Penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara (Pasal 353- 354 RKUHP versi 28 Agustus 2019)
Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada admisitrasi negara. Dan harus lagi-lagi dijelaskan, bahwa perlindungan dalam bentuk penghinaan adalah untuk melindungi individu, bukan lembaga negara yang bisa dikritik.

4. Isu Living Law

Pasal 598 tentang Living Law menyebutkan dalam ayat 1 menyebutkan “Setiap Orang, yang melakukan perbuatan menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana”. Pasal ini jelas bermasalah karena mengandung asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas. Pasal ini juga dapat menimbulkan multitafsir yang dapat dimanfaat untuk kesewenangan aparat. Hal ini diperkuat dengan pasal 2 ayat 1 “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dampak dimasukannya pasal Living Law dalam RKUHP yang lain ialah terjadinya overkriminalisasi yang siap mengintai masyarakat, setidaknya akan ada paling tidak 514 KUHP Lokal yang tanpa ada kejelasan mekanisme evaluasinya akan seperti apa. Living Law ini nantinya akan diatur dalam bentuk Perda. Hal ini tentunya berpotensi sekali memunculkan Perda-Perda yang diskriminatif khususnya terhadap teman-teman dari kelompok yang rentan. Living Law dibuat namun belum ada penelitian ilmiah/naskah akademik yang mendasari dibuatnya pasal Living Law. Lazimnya dalam pembuatan kebijakan atau Undang-Undang haruslah didasari sebuah penelitian ilmiah atau naskah akademik, tentunya hal ini sudah melangkahi kaidah ilmiah yang harus didasarkan atas penelitian ilmiah, bukan asumsi belaka.

Mengingat masih banyaknya permasalahan dalam RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP kembali mendesak Pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP. Penundaan ini bersifat sementara, sebagai jalan untuk pembuat kebijakan membuka dialog dan kesempatan seluas-seluasnya agar masyarakat sipil dan ahli di bidangnya dapat terlibat dalam memperbaiki RKUHP.

Jakarta, 12 September 2019

LBH Masyarakat (LBHM), Aliansi Satu Visi (ASV), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), ELSAM, ICJR, MAPPI, LBH Jakarta

CP : Ris Carolina (081330090410)