Darurat Bencana, Darurat Hak Kesehatan Reproduksi
12 January 2018
Kala Bencana, Anak Muda Bisa Apa?
1 February 2018
Show all

Sesat Pikir di Balik Perda Anti-Minoritas Seksual

Oleh: Arief Rahadian

Keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat untuk menyusun peraturan daerah (perda) anti-LGBT (minoritas seksual) mengundang banyak perdebatan. Perdebatan-perdebatan tersebut umumnya membahas tentang justifikasi pihak Pemprov, yang menyatakan bahwa: 1) Keberadaan kelompok minoritas seksual tidak sesuai dengan norma budaya di Sumatera Barat; dan 2) Kelompok minoritas seksual merupakan dalang di balik maraknya penyebaran HIV dan AIDS[1]. Padahal kedua poin di atas masih perlu dikaji lebih lanjut, dan dibuktikan kebenarannya.

Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, menyatakan bahwa Pemprov Sumatera Barat sedang menyiapkan upaya-upaya untuk “memberantas” kelompok minoritas seksual[2]. Dalam tiga bulan ke depan, Pemprov Sumatera Barat bersama tim akan melakukan survei untuk meneliti aktivitas kelompok minoritas seksual di Sumatera Barat. Hasil survei tersebut akan digunakan sebagai basis perumusan perda anti-minoritas seksual[3]. Pemprov Sumatera Barat sendiri mengklaim bahwa upaya pemberantasan ini didukung oleh para pemangku kebijakan; mulai dari anggota DPRD Sumatera Barat, pemuka agama, ninik mamak, perwakilan LSM, hingga akademisi. Lebih lanjut, Pemprov Sumatera Barat menyatakan bahwa perumusan perda anti-minoritas seksual tersebut ditargetkan selesai pada tahun 2018 ini[4].

Keputusan Pemprov Sumatera Barat akan menambah daftar hitam perda diskriminatif yang menargetkan kelompok minoritas seksual. Sebagai contoh, pada tahun 2002, Pemprov Sumatera Selatan mengeluarkan Perda Nomor 13 tentang Pemberantasan Maksiat. Perda ini mengkategorikan “homoseks,” “lesbian,” dan “sodomi” sebagai perbuatan maksiat, yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat[5]. Contoh lain, pada tahun 2004, Pemerintah Kota Palembang mengeluarkan Perda Nomor 2 tentang Pemberantasan Pelacuran. Dalam perda ini, “homo seks,” “lesbian,” dan “sodomi” masuk ke dalam kategori tindak pelacuran. Perda-perda dengan muatan yang kurang lebih sama juga dapat ditemui di wilayah lain seperti Aceh, Bandar Lampung, Garut, Tasikmalaya, hingga Tarakan[6].

Keberadaan perda-perda diskriminatif ini tentu saja berbahaya, karena diskriminasi struktural yang ditargetkan kepada kelompok minoritas seksual akan mendorong naiknya angka kekerasan berbasis gender dan orientasi seksual[7]. Perda-perda tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi[8],” dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 3, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi[9]”. Keberadan perda-perda diskriminatif ini menunjukkan minimnya pengetahuan para perumus kebijakan tentang konsep dasar hak asasi manusia.

Minimnya pengetahuan para perumus kebijakan juga tercermin dari muatan perda yang tidak konsisten. Perda-perda diskriminatif umumnya mencampuradukkan pengertian orientasi seksual dan aktivitas seksual. Sebagai contoh, Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 2 tahun 2004 mengkategorikan homoseksualitas dan lesbianisme sebagai bagian dari prostitusi[10]. Padahal istilah homoseksualitas dan lesbianisme sendiri mengacu pada orientasi seksual, atau “pola ketertarikan secara emosional, romantis, dan/atau seksual terhadap jenis kelamin tertentu[11]”. Pertanyaan yang kemudian lahir dari penjelasan di atas adalah, bagaimana caranya “rasa ketertarikan” terhadap seseorang dapat dikategorikan sebagai tindak prostitusi?

Lebih lanjut, inkonsistensi dalam muatan perda diskriminatif juga dapat dilihat dari kecenderungan perumus kebijakan untuk menyamakan hubungan seks konsensual dan non-konsensual. Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 tahun 2003 misalnya, mencantumkan “zina” dan “perkosaan” ke dalam satu kategori yang sama, yaitu perbuatan maksiat[12]. Dalam perda tersebut, zina didefinisikan sebagai “perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pemikahan,” sedangkan perkosaan didefinisikan sebagai “tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan seorang laki laki memaksa seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan”. Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa definisi “zina” mencakup hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sedangkan definisi “perkosaan” sendiri mengacu pada hubungan seks non-konsensual. Lagi-lagi, keduanya merupakan hal yang berbeda.

Hukum pidana Indonesia sendiri tidak melarang hubungan seks konsensual yang dilakukan antar orang dewasa. Adapun jenis hubungan seks yang dapat dipidana – jika mengacu pada Bab Kejahatan Kesusilaan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) – adalah hubungan seksual dengan anak, perkosaan yang dinyatakan oleh undang-undang[13], dan mukah (overspel)[14]. Hal ini menunjukkan bahwa perda-perda diskriminatif yang dipaparkan di atas ternyata tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di level nasional.

Beragam Justifikasi

Dalam keterangannya, pihak Pemprov Sumatera Barat menyatakan bahwa upaya pemberantasan kelompok minoritas seksual dilakukan untuk menekan angka penularan HIV[15]. Pernyataan ini didukung oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit, yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini, penularan HIV “marak” disebabkan oleh perilaku seks menyimpang kelompok minoritas seksual[16]. Lebih lanjut, Nasrul juga menyatakan bahwa jumlah minoritas seksual yang terus bertambah tiap harinya dapat mendorong naiknya prevalensi kasus HIV di Sumatera Barat. Namun ketika ditanya tentang data jumlah minoritas seksual di Sumatera Barat, Nasrul mengatakan bahwa hingga saat ini, ia belum memiliki data yang valid[17].

Hubungan antara kelompok minoritas seksual dan penularan HIV menjadi salah satu argumen yang paling sering digunakan, untuk menjustifikasi upaya kriminalisasi terhadap kelompok minoritas seksual. Kelompok minoritas seksual dituding sebagai aktor utama di balik penyebaran HIV; padahal menurut data Kementerian Kesehatan, infeksi HIV justru dominan terjadi di kelompok heteroseksual. Data dari sumber yang sama juga menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok beresiko, kasus AIDS di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok heteroseksual (67,6%), diikuti pengguna Napza suntik (10,9%) dan kelompok homoseksual (3,3%). Lebih lanjut, jika didata berdasarkan jenis pekerjaannya, kasus AIDS di Indonesia paling terjadi di kelompok ibu rumah tangga[18].

Argumentasi lain yang kerap digunakan untuk menjustifikasi perda diskriminatif yang menargetkan kelompok minoritas seksual adalah “keberadaan kelompok minoritas seksual tidak sesuai dengan nilai adat yang berlaku di Indonesia”. Padahal, keberagaman gender dan seksualitas telah menjadi bagian dari identitas bangsa sejak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Sejarah mencatat berbagai tradisi Indonesia yang mengakomodasi elemen keberagaman gender dan seksualitas, seperti kesenian Randai di Sumatera Barat. Randai menggabungkan elemen-elemen musik, tarian, drama, dan silat ke dalam satu pertujukan kesenian. Seluruh penampil dalam pertunjukan Randai adalah laki-laki. Oleh karena itu, dalam skenario yang menampilkan karakter perempuan, para pemain laki-laki tersebut akan berperan sebagai perempuan. Pemain laki-laki yang berperan sebagai perempuan ini disebut sebagai bujang gadih[19].

Contoh lain dari keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia adalah keberadaan komunitas bissu di Sulawesi Selatan. Bissu merupakan sebutan bagi pendeta agama bugis kuno, yang berperan sebagai “penghubung” antara dewa dan manusia. Sebelum masuknya Islam ke Sulawesi Selatan pada abad ke-17, bissu berperan sebagai pemimpin upacara adat; mulai dari upacara pelantikan raja, kelahiran, dan kematian[20]. Dalam tradisi Bugis, bissu dianggap sebagai representasi laki-laki dan perempuan; maskulin dan feminin[21]. Bahkan dalam beberapa literatur, bissu didefinisikan sebagai entitas tanpa gender, atau keberadaan yang melampaui konsep gender. Kedua contoh di atas – kesenian Randai dan komunitas bissu – menjadi bukti bahwa kelompok minoritas telah hadir, dan menjadi bagian dari bangsa ini sejak ratusan tahun yang lalu.

Dampak Destruktif

Paparan di atas menunjukkan bahwa selain inkonsisten, perda-perda diskriminatif juga disusun berdasarkan prasangka semata, tanpa mempertimbangkan data dan kajian akademis. Hal ini tentu saja berbahaya, mengingat perda memiliki kekuatan hukum yang dapat membatasi hak warga negara. Keberadaan perda diskriminatif yang menargetkan kelompok minoritas seksual dapat mendorong warga untuk melakukan tindak persekusi terhadap kelompok minoritas seksual.

Sebagai contoh, pada bulan Desember 2017, seorang wanita berinisial SM menyebarkan rekaman dirinya ketika sedang mencecar dua orang laki-laki yang ia anggap “bermesraan,” di atas sepeda motor. Menurut SM, tindakan mereka tidak sesuai dengan norma budaya yang berlaku di Indonesia. Sikap SM ini ternyata sejalan dengan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang bertingkah laku dan/atau berbuat asusila di jalan, jalur hijau, taman, atau dan tempat-tempat umum lainnya[22]”. Namun setelah diselidiki lebih lanjut, kedua laki-laki tersebut ternyata merupakan saudara kandung, dan video yang terlanjur disebar oleh SM menyebabkan sang kakak dipecat dari kantornya[23].

Selain itu, keberadaan perda diskriminatif juga dapat menyebabkan ketakutan di kalangan kelompok minoritas seksual. Dampak dari ketakutan tersebut adalah penurunan angka kunjungan kelompok minoritas seksual ke fasilitas kesehatan. Hal ini diungkapkan oleh aktivis hak minoritas seksual, Slamet Raharjo. Slamet mengatakan bahwa penurunan angka kunjungan ke fasilitas kesehatan ini tidak hanya dipengaruhi oleh sikap pemerintah terhadap kelompok minoritas seksual, tapi juga sikap fasilitator kesehatan, aparat keamanan, dan kepolisian[24]. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya perda anti-minoritas seksual, yaitu menekan angka penularan HIV. Bagaimana pemerintah dapat menekan angka penularan HIV, jika peraturan yang dibuat justru membuat kelompok minoritas seksual takut untuk memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan.

Selain itu, perda diskriminatif juga dapat menghilangkan keragaman budaya yang telah menjadi bagian dari indonesia. Sebagai contoh, sejak tahun 1939, kesenian Randai sudah tidak lagi menampilkan bujang gadih. Keputusan ini diambil karena forum pemuka agama di Sumatera Barat menganggap bujang gadih sebagai simbol pornografi, dan kehadiran mereka disinyalir dapat memancing birahi penonton laki-laki[25]. Komunitas bissu, di sisi lain, pernah mengalami upaya pembantaian sistematis pada tahun 1960-an. Pada era tersebut, militan Darul Islam menyiksa para bissu secara sistematis, dalam sebuah operasi yang disebut sebagai Operasi Toba. Kelompok radikal tersebut menggunduli, dan memenggal kepala sebagian bissu. Hal ini dilakukan agar para bissu tunduk, dan kembali ke jalan yang benar[26].

Paparan di atas tidak hanya menunjukkan masalah di balik justifikasi dan muatan perda diskriminatif. Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan perlunya peraturan yang melindungi kelompok minoritas seksual, dari diskriminasi yang rentan mereka hadapi.

 

Referensi:

[1] Harian Haluan. (2018). Pemprov Sumbar Bentuk Tim Anti LGBT. Diakses melalui: https://www.harianhaluan.com/news/detail/68277/pemprov-sumbar-bentuk-tim-anti-lgbt

[2] BBC Indonesia. (2018). Gay di Sumatera Barat: ‘Memberantas’ LGBT untuk Mencegah HIV/AIDS. Diakses melalui: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42612086

[3] Harian Haluan, Op.cit.

[4] Padangkita. (2018). Cegah LGBT, Sumbar Wacanakan Perda. Diakses melalui: http://padangkita.com/cegah-lgbt-sumbar-wacanakan-perda/

[5] Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat. Diakses melalui: http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/dokumen-kebijakan/download/18-peraturan-daerah-sub-national-regulation/305-perda-propinsi-sumatera-selatan-no-13-tahun-2002-tentang-pemberantasan-maksiat-di-propinsi-sumatera-selatan

[6] Katjasungkana & Wieringa (2016). Kriminalisasi Merayap. New York: OutRight Action International. Diakses melalui: https://www.outrightinternational.org/sites/default/files/KriminalisasiMerayap-ind.pdf.

[7] Loc.cit.

[8] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diakses melalui: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_protect/—protrav/—ilo_aids/documents/legaldocument/wcms_174556.pdf

[9] Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Diakses melalui: https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/55808/105636/F2072161365/IDN55808%20IDN.pdf

[10] Katjasungkana & Wieringa, Op.cit.

[11] American Psychological Association. (2008). Answers to your questions: For a better understanding of sexual orientation and homosexuality. Washington, DC: Author. Diakses dari: www.apa.org/topics/sorientation.pdf

[12] Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat. Diakses melalui: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2003/gorontalo10-2003.pdf

[13] Katjasungkana & Wieringa, Op.cit.

[14] Istilah mukah (overspel) mengacu pada hubungan seks yang dilakukan oleh seseorang dengan pihak lain yang telah terikat perkawinan. Diakses melalui: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ebcabd79244c/apakah-hubungan-badan-pasangan-remaja-yang-belum-menikah-termasuk-perzinahan-

[15] BBC Indonesia, Op.cit.

[16] Harian Haluan, Op.cit.

[17] BBC Indonesia, Op.cit.

[18] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Diakses melalui: http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Situasi-Penyakit-HIV-AIDS-di-Indonesia.pdf

[19] Blacwood, Evelyn. (2010). Falling Into the Lesbi World : Desire and Difference in Indonesia. Honolulu : University of Hawaiʻi Press

[20] Pramesti, Olivia. (2012). Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Dipinggirkan. National Geographic. Diakses melalui: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan

[21] Graham, Sharyn. (2002). Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia. IIAS Newsletter Nomor 29. Diakses melalui: https://issuu.com/iias/docs/iias_nl_29

[22] Lebih lanjut, yang dimaksud dengan bertingkah laku dan/atau berbuat asusila adalah perbuatan yang menyinggung rasa kesusilaan sesuai norma yang berlaku di masyarakat, misalnya: menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman, dan aktivitas seksual lainnya. Diakses melalui: https://www.komnasham.go.id/files/20161201-kajian-perda-tentang-ketertiban-$ASVNFOF.pdf

[23] Damarjanti, Danu. (2017). 2 Pria yang Disebut Bermesraan Kakak Adik, Penyebar Video Minta Maaf . Detik. Diakses melalui: https://news.detik.com/berita/d-3786098/2-pria-yang-disebut-bermesraan-kakak-adik-penyebar-video-minta-maaf

[24] Wargadiredja, Arzia. (2017). Maraknya Penangkapan LGBT Bikin Penanganan HIV/AIDS Bertambah Berat. Vice. Diakses melalui: https://www.vice.com/id_id/article/599m48/maraknya-penangkapan-lgbt-bikin-penanganan-hivaids-bertambah-berat

[25] Blacwood, Evelyn, Op.cit.

[26] Rahardianto, Rizky. (2017). Generasi Terakhir Kaum Trans Setengah Dewa Sulawesi. Vice. Diakses melalui: https://www.vice.com/id_id/article/xyk87j/generasi-terakhir-kaum-trans-setengah-dewa-sulawesi