Oleh Arief Rahadian
Diskusi terkait program penanggulangan bencana umumnya fokus pada masalah pengadaan pangan, dan rekonstruksi fisik pasca bencana. Padahal, masalah kesehatan reproduksi – seperti naiknya angka risiko kekerasan seksual, serta meningkatnya insiden Infeksi Menular Seksual (IMS) – juga turut menghantui korban bencana, dan harus didiskusikan lebih lanjut.
Sebagai negara yang terletak di daerah rawan bencana, Indonesia kerap disebut sebagai “Laboratorium Bencana”. Istilah ini muncul karena kondisi geografis, geologis, serta demografis Indonesia yang relatif mendorong lahirnya berbagai jenis bencana[1]; baik bencana alam, bencana non-alam, maupun bencana sosial[2]. Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi; mulai dari risiko banjir, gempa bumi, longsor, hingga letusan gunung berapi[3]. Lebih lanjut, laporan yang sama juga menunjukkan bahwa seluruh Ibu Kota Provinsi di Indonesia (34 kota) memiliki risiko bencana gempa bumi.
Tingginya Indeks Risiko Bencana (IRB) Indonesia mendorong pemerintah untuk memberi perhatian ekstra terhadap upaya penanggulangan bencana. Mengacu pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, BNPB menargetkan penurunan IRB sebesar 30% pada akhir tahun 2019. Berbagai upaya dilakukan oleh BNPB untuk mencapai target tersebut, mulai dari meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana di daerah prioritas, berkerja sama dengan kementrian dan lembaga lain, hingga menyusun acuan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang baru[4].
Namun di tengah upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi terkait, terdapat satu isu sentral yang umumnya luput dari pembahasan. Isu tersebut adalah pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat[5]. Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi kondisi kesehatan reproduksi warga yang terdampak; khususnya perempuan, anak, dan remaja[6]. Rusaknya infrastruktur kesehatan akan menghambat layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Keterbatasan akses kontrasepsi dalam situasi bencana dapat meningkatkan angka kehamilan yang tidak diinginkan, serta peningkatan insiden IMS dan HIV. Selain itu, kondisi sosial pasca bencana yang tidak stabil dapat meningkatkan risiko kekerasan seksual[7].
Mandat terkait pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat sendiri telah tercantum dalam berbagai regulasi; baik di level nasional maupun internasional. The International Conference on Population and Development yang diadakan di Kairo pada tahun 1994 misalnya, menyepakati bahwa “Semua negara harus berusaha untuk membuat pelayanan kesehatan reproduksi yang dapat diakses oleh seluruh individu pada usia yang tepat, melalui pelayanan kesehatan dasar, sesegera mungkin sebelum tahun 2015”[8]. Pada level nasional, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan dengan jelas bahwa “Perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk dalam Penyelenggaran Tanggap Darurat (Pasal 48e)”[9]. Pentingnya pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat kembali dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan Pasal 22 dan 26. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi harus tersedia pada saat tanggap, dan pasca darurat krisis kesehatan[10].
Poin-poin di atas menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat; sekaligus menjadi basis dari program Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi, yang digalang oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PPAM untuk Kesehatan Reproduksi merupakan seperangkat kegiatan prioritas terkoordinasi, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi penduduk, pada permulaan suatu keadaan darurat/bencana. Berangkat dari prinsip pemenuhan kebutuhan dan layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan prinsip Keluarga Berencana (KB), PKBI membentuk tim kemanusiaan di setiap tingkatan kerja PKBI (pusat, daerah, dan cabang) untuk melakukan upaya respon kesehatan reproduksi pada masa darurat.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat – khususnya bagi perempuan dan anak – menjadi penting, karena lebih dari 50% pengungsi korban bencana adalah perempuan dan anak[11]. Data dari The United Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari total populasi perempuan di tempat pengungsian, 25% di antaranya berada di usia produktif. Lebih lanjut, data dari UNFPA juga menunjukkan bahwa dari total populasi perempuan yang berada di usia produktif tersebut, 2% di antaranya mengalami kekerasan seksual. Selain kasus kekerasan seksual, masalah-masalah terkait kehamilan juga turut menghantui korban bencana di lokasi pengungsian. Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa 20% kehamilan yang terjadi di saat krisis akan berakhir dengan keguguran, atau aborsi yang tidak aman[12]. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh PKBI dan BNPB, melalui Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi.
Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi PKBI dibagi ke dalam tiga tahap: tahap pra-bencana, tahap saat bencana, dan tahap pasca-bencana. Tahap pra-bencana mencakup berbagai upaya seperti pelatihan penyedia layanan dan relawan, pertemuan koordinasi dengan berbagai stakeholders, serta pengadaan kit kebersihan (hygiene kit) dan kit kesehatan reproduksi (reproductive health kit). Isi kit kebersihan mencakup persediaan sanitasi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, pakaian dalam, ember, serta alat-alat kebersihan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Kit kesehatan reproduksi, di sisi lain, dibagi ke dalam tiga paket (block) berdasarkan level fasilitas kesehatan di tempat kit tersebut disediakan.
Block pertama berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga kesehatan di level komunitas; seperti alat-alat kebersihan, kondom, pil KB, dan obat-obatan IMS. Block kedua berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga kesehatan di level rumah sakit; seperti alat bantu persalinan. Sedangkan block ketiga berisi alat-alat kesehatan reusable, yang ditujukan untuk kebutuhan operasi; seperti alat bedah dan transfusi darah[13].
Tahap selanjutnya – saat bencana – mencakup upaya-upaya langsung yang dilakukan di situs bencana; mulai dari mengirim tim respon, penyediaan layanan konsultasi dan kesehatan reproduksi, serta pembagian kit kebersihan dan kit kesehatan reproduksi. Tahap terakhir – pasca-bencana – mencakup upaya-upaya terkait evaluasi program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi dan identifikasi rekomendasi untuk program selanjutnya. Tahap pasca-bencana juga beririsan dengan tahap pra-bencana, karena dalam tahap ini, tim PPAM akan mulai melakukan upaya-upaya mitigasi seperti yang tercantum dalam tahap pra-bencana.
Sepanjang tahun 2013 – 2017, PKBI telah melakukan 24 upaya respon bencana dalam bentuk pemberian layanan PPAM untuk Kesehatan Reproduksi. Upaya respon bencana ini dilakukan antara lain di:
PKBI akan terus berkomitmen untuk melaksanakan program kemanusiaan terkait kesehatan reproduksi pada masa darurat, serta memperjuangkan terpenuhinya hak kesehatan seksual dan reproduksi secara umum. Salah satu caranya adalah dengan terlibat aktif di forum pengurangan risiko bencana, dan menjadi anggota sub-kluster kesehatan reproduksi.
Referensi
[1] Wibowo, A., Surbakti, Y., danYunus, R. (2013). Indonesia Disaster Database. Diakses melalui: http://www.unescap.org/sites/default/files/S2-3_Indonesia.pdf.
[2] UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana mendefinisikan bencana sebagai “Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Berangkat dari definisi di atas, UU yang sama juga membagi bencana ke dalam tiga kategori: bencana alam – seperti gempa bumi dan tsunami, bencana non alam – seperti wabah penyakit, dan bencana sosial – seperti konflik dan teror.
[3] Islahuddin. (2017). Indeks Risiko Bencana di 34 Ibu Kota Provinsi se-Indonesia. Diakses melalui: https://beritagar.id/artikel/berita/indeks-risiko-bencana-di-34-ibu-kota-provinsi-se-indonesia.
[4] Kepala BNPB Tandatangani Dokumen Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana 2015-2019. (2016). Diakses melalui: https://www.bnpb.go.id/kepala-bnpb-tandatangani-dokumen-kebijakan-dan-strategi-penanggulangan-bencana-2015-2019.
[5] Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana. (2017). Diakses melalui: https://www.bnpb.go.id/pengarustamaan-gender-dalam-penanggulangan-bencana.
[6] Press Release PKBI Daerah Jateng :PKBI Gelar Latihan Tanggap Bencana. (2015). Diakses melalui: http://pkbi.or.id/press-release-pkbi-daerah-jateng-pkbi-gelar-latihan-tanggap-bencana/.
[7] Pamflet program kemanusiaan PKBI. (n.y).
[8] United Nations. (1995). Report of the International Conference on Population and Development. Diakses dari: https://www.unfpa.org/sites/default/files/event-pdf/icpd_eng_2.pdf.
[9] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana. (2007). Diakses dari: https://bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf.
[10] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan. (2015). Diakses dari: http://pusatkrisis.kemkes.go.id/peraturan-menteri-kesehatan-republik-indonesia-nomor-64-tahun-2013-tent.
[11] UNHCR. (n.y). Women. Diakses melalui: http://www.unhcr.org/women.html.
[12] UNFPA. (2011). Manual for Inter-Agency Reproductive Health Kits for Crisis Situations. Diakses melalui: https://www.unfpa.org/sites/default/files/resource-pdf/RH%20kits%20manual_EN_0.pdf.
[13] Loc. cit.