Sesat Pikir di Balik Perda Anti-Minoritas Seksual
21 January 2018
R KUHP Rasa Kolonialisme: Tolak!
12 February 2018
Show all

Kala Bencana, Anak Muda Bisa Apa?

Oleh: Arief Rahadian

Studi-studi termutakhir menunjukkan bahwa anak muda relatif lebih sensitif terhadap trauma pasca-bencana, jika dibandingkan dengan orang dewasa (Black, 2017). Poin di atas menempatkan anak muda ke dalam kategori kelompok rentan, yang membutuhkan perhatian khusus pada kondisi bencana (Hagan dalam Khorram-Manesh, 2017). Namun terlepas dari posisinya yang dinilai ‘rentan’, ternyata anak muda memiliki kapasitas untuk bertindak, dan terlibat dalam upaya penanggulangan bencana (Fothergill, 2017). Artikel ini akan membahas tentang dampak bencana terhadap anak muda, serta upaya-upaya manajemen risiko bencana yang dapat, dan telah dilakukan oleh anak muda.

Mengenal Marabahaya dan Bencana

Sebelum membahas tentang dampak bencana terhadap anak muda, kita perlu memahami perbedaan antara marabahaya dan bencana. Marabahaya (hazard) mengacu pada “peristiwa, atau rangkaian peristiwa, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia, yang dapat menyebabkan kerugian bagi manusia, harta-bendanya, dan kerusakan lingkungan; jika marabahaya tersebut tidak diantisipasi” (Kearney, 2015). Bencana (disaster), di sisi lain, mengacu pada “gangguan serius terhadap keberfungsian sebuah komunitas atau masyarakat dalam berbagai skala, yang disebabkan oleh interaksi antara kejadian marabahaya dengan kondisi keterpaparan, kerentanan, dan ketidaksiapan, yang menyebabkan setidaknya satu dari hal berikut: korban manusia, kerugian material, kerugian ekonomi, dan kerusakan lingkungan” (UNISDR, 2017).

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara konsep ‘marabahaya’ dan ‘bencana’. Marabahaya belum tentu menyebabkan bencana. Sebagai contoh,  banjir yang terjadi di daerah tanpa penduduk tidak dapat diklasifikasikan sebagai bencana, karena peristiwa tersebut tidak menyebabkan jatuhnya korban manusia, atau kerugian material. Banjir baru dapat diklasifikasikan sebagai bencana apabila ia terjadi di daerah berpenduduk, dan menyebabkan gangguan serius bagi masyarakat. Perbedaan definisi ini juga menunjukkan bahwa bencana sebenarnya dapat dicegah, jika masyarakat mampu mengantisipasi marabahaya yang akan datang.

Dampak Bencana terhadap Anak Muda

Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya anak muda. Secara fisik, anak muda kerap menjadi korban dari runtuhnya bangunan sekolah atau rumah, ketika bencana terjadi. Sebagai contoh, gempa bumi di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 2008 menewaskan kurang lebih 10.000 anak. Sebagian besar korban sedang berada di bangunan sekolah yang runtuh, akibat konstruksi bangunan yang buruk (Wong dalam Fothergill, 2017). Selain risiko runtuhnya bangunan, masalah-masalah lain seperti wabah penyakit, kelaparan, dan kekurangan gizi juga turut menghantui anak muda pada masa pasca-bencana. Lebih lanjut, hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak di negara berkembang relatif lebih rentan mengalami cedera, atau meninggal dalam kondisi bencana (Fothergill, 2017).

Selain dampak fisik, bencana juga membawa dampak psikologis bagi anak muda. Hasil studi Norris dkk (2002) menunjukkan bahwa dampak psikologis bencana cenderung lebih dirasakan oleh anak muda, jika dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini terjadi karena terkadang orang tua terlalu sibuk mencari makanan dan tempat berlindung, hingga mengabaikan kebutuhan psikologis anak (Mudayanhu dalam Fothergill, 2017). Lebih lanjut, dalam kondisi bencana, terkadang anak muda memilih untuk diam dan tidak mengutarakan kegelisahannya, karena mereka tidak ingin membebani orang tuanya (Fothergill dan Peek, 2015).

Bencana dan Peran Anak Muda

Secara umum, peran anak muda dalam manajemen risiko bencana dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu peran pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana. Terkait peran pra-bencana, hasil studi Wisner (2006) dan Fothergill (2017) menunjukkan bahwa anak muda perlu memiliki pengetahuan terkait tindakan pertolongan pertama. Studi tersebut menemukan bahwa pada saat bencana, anak muda kerap hadir di dekat anak muda lain yang sedang terluka. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai pertolongan pertama menjadi penting untuk meminimalisir, atau mencegah cedera parah dan jatuhnya korban jiwa. Selain itu, anak muda juga dapat memanfaatkan media sosial untuk membagikan informasi terkait upaya pencegahan bencana, dan metode respon bencana yang tepat.

Terkait peran anak muda pada saat bencana, hasil studi Fothergill dan Peek (2015) menunjukkan bahwa anak muda dapat memberikan dukungan emosional di saat-saat kritis, bagi sesama korban bencana. Studi tersebut menunjukkan bahwa anak muda mampu berempati dengan rekan sebayanya, menenangkan adik-adiknya, dan mendengarkan keluh kesah anak muda lain. Anak muda juga dapat memberi dukungan bagi orang tua mereka lewat pelukan, nyanyian, dan ucapan semangat.

Senada dengan upaya pra-bencana, anak muda juga dapat menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi saat bencana. Sekelompok anak muda di Selandia Baru berhasil menggunakan media sosial untuk mengorganisir tim respon bencana, ketika bencana gempa bumi melanda Kota Christchurch pada tahun 2011 lalu. Selain itu, hasil studi juga menunjukkan bahwa anak muda memiliki kemampuan untuk menyajikan data yang lebih akurat terkait korban dan dampak bencana, karena posisi anak muda yang relatif bebas dari kepentingan politik (Nikku dkk, 2006).

Perihal peran anak muda pasca-bencana, anak muda dapat terlibat dalam kegiatan crowdfunding untuk membantu korban bencana. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan anak muda untuk menginisiasi kampanye daring, dan melakukan proses pengumpulan dana bagi korban bencana. Selain itu, anak muda juga dapat mendaftarkan diri sebagai relawan untuk membantu korban bencana. Selain berkesempatan untuk membantu kawan-kawan korban bencana, relawan juga akan menerima pelatihan respon bencana, serta pelatihan-pelatihan lain yang turut membantu proses pengembangan kapasitas anak muda.

Bencana dan Anak Muda Indonesia

Peran anak muda Indonesia dalam upaya manajemen risiko bencana menjadi hal yang sangat penting, mengingat predikat Indonesia sebagai ‘laboratorium bencana’ (Surbakti dan Yunus, 2013). Salah satu contoh peran anak muda dalam upaya manajemen risiko bencana datang dari Indonesian Youth on DRR (IYDRR). IYDRR merupakan organisasi pemuda dengan fokus peningkatan kapasitas manajemen risiko bencana pemuda. Selain aktif dalam berbagai pelatihan manajemen risiko bencana, IYDRR juga menggunakan media sosial mereka sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran publik – khususnya anak muda – terkait pentingnya manajemen risiko bencana (IYDRR, 2017). Contoh lain datang dari anak-anak muda yang tergabung dalam ASEAN Youth Volunteering Program (AYVP) 2017. Melalui AYVP, anak-anak muda yang berasal dari berbagai negara ASEAN ditantang untuk membuat proposal proyek manajemen risiko bencana, dan menjalankan proyek tersebut di negara mereka masing-masing (KabarKampus, 2017).

Selain IYDDR dan AYVP, keterlibatan anak muda dalam upaya manajemen risiko bencana juga dapat dilihat dari Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi, yang digalang oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melalui Program Kemanusiaan. Program ini memberdayakan relawan muda PKBI – yang tergabung dalam Youth Center PKBI – untuk terlibat langsung dalam upaya respon bencana. Sebagai contoh, pada bulan September 2017 lalu, relawan muda PKBI turut andil membantu proses trauma healing korban bencana erupsi Gunung Sinabung, Sumatra Utara. Para relawan muda tersebut berperan sebagai fasilitator kegiatan edutainment untuk remaja dan anak. Selain itu, mereka juga terlibat dalam proses pasca-bencana melalui dialog dengan masyarakat setempat.

Youth Center PKBI selalu membuka kesempatan bagi kawan muda yang ingin terlibat dalam kegiatan kerelawanan. Selain memberi kesempatan kawan muda untuk membantu sesama, PKBI juga berkomitmen untuk membangun kapasitas kawan muda, khususnya terkait isu kesehatan reproduksi, gender, dan penanggulangan bencana. Kawan muda yang tertarik dapat langsung mendaftarkan dirinya melalui tautan ini, atau menghubungi cabang PKBI di daerah kawan muda masing-masing.

Children are not just passive victims or dependent observers, It has become clear that at the same time that children and youth are vulnerable, they also demonstrate important and often unnoticed capabilities and strengths, as they assist themselves and others before and after a disaster strikes.” – Anderson dalam Fothergill, 2017.

 

Daftar Referensi

Black, Lynette. (2017). Impacts of Disaster on Youth. Diakses dari: https://eden.lsu.edu/educate/resources/impacts-of-disaster-on-youth/

Fauzan, Ahmad. (2017). Puluhan Pemuda ASEAN Siap Bangun Komunitas Tanggap Bencana di Lembang. Diakses dari: http://kabarkampus.com/2017/02/puluhan-pemuda-asean-siap-bangun-komunitas-tanggap-bencana-di-lembang/

Fothergill, Alice. (2017). Children, Youth, and Disaster. Oxford Research Encyclopedia of Natural Hazard Science. Diakses dari: http://naturalhazardscience.oxfordre.com/view/10.1093/acrefore/9780199389407.001.0001/acrefore-9780199389407-e-23

IYDRR. (2017). Halaman Profil. Diakses dari: https://indonesianyouthondrrblog.wordpress.com/

Kearney, Helen. (2015). Sendai Framework for Disaster Risk Reduction: for children. Diakses dari: https://www.preventionweb.net/files/46959_cfsfdrrforwebrasterizedsm.pdf

Khorram-Manesh, Amir. (2017). Youth Are Our Future Assets in Emergency and Disaster Management. Bulletin of Emergency and Trauma, vol (5) 1. Diakses dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5316128/#B4

UNISDR. (2017). Terminology on DDR. Diakses dari: https://www.unisdr.org/we/inform/terminology