Pada 27 Agustus 2018 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jambi membuat keputusan yang bijak dengan membebaskan WA, anak berumur 15 tahun korban perkosaan oleh kakak kandungnya sendiri. Amar putusan banding tersebut menyatakan WA telah terbukti melakukan tindak pidana aborsi, tetapi dilakukan dalam keadaan daya paksa, sehingga majelis hakim membebaskan WA dari segala tuntutan hukum. Majelis hakim juga telah meminta kepada pihak-pihak terkait untuk memulihkan hak anak dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Akan tetapi pada 13 September 2018, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi ke Panitera Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari. Hingga saat ini belum ada memori kasasi yang akan diajukan Merespon hal tersebut, rekan-rekan Save Our Sisters (SOS) di Jambi melakukan aksi unjuk rasa pada 17 September 2018, di depan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi untuk menolak kasasi yang diajukan oleh JPU tersebut.
Perwakilan peserta aksi diterima di Kejaksaan Tinggi dan diberikan kesempatan untuk berdialog dengan Asisten Intelijen Kejati Jambi, Dedie Tri Haryadi dan Asisten Pidana Umum Kejati Jambi, Fajar Rudi Manurung sebagai pihak yang memberikan jawaban dan alasan diajukannya kasasi. Berdasarkan rekaman singkat yang PKBI terima, Kejati mengeluarkan pendapat yang tidak berperspektif korban.
“Perbuatannya berlanjut sampai Sembilan kali. Sembilan kali berarti apa? Pemaksaannya di mana?”, ujar jaksa pemimpin diskusi.
Pernyataan demikian menyiratkan bahwa tuduhan perkosaan yang dialami oleh korban WA tidak memiliki unsur tekanan. Jaksa tersebut juga mempermasalahkan alasan korban tidak segera melaporkan kejadian yang menimpanya kepada aparat penegak hukum.
Jaksa sebagai apparat penegak hukum telah melakukan tindakan victim blaming kepada WA sebagai korban perkosaan. Apalagi dengan memidanakan korban WA tersebut berarti menempatkan perempuan dalam posisi kesakitan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan serta perempuan dan anak yang dikriminalisasi. Dibutuhkan sikap yang lebih sensitif terhadap korban perkosaan, tidak melanggengkan stigma, dan mengambil unsur positif berdasarkan kemanusiaan serta menempatkan anak di bawah 18 tahun sebagai korban.
Sehubungan dengan daya paksa pada pasal 48 KUHP yang kiranya ditanyakan oleh jaksa, hal tersebut tidak relevan dengan jumlah berapa kali perkosaan yang terjadi. Jaksa tidak mempertimbangkan WA yang masih berada pada usia anak dan perkosaan tersebut dilakukan oleh kakaknya sendiri dengan ancaman kekerasan. Hal itu tentunya akan mempengaruhi psikologis korban. Tidak dibenarkan mempertanyakan kemungkinan lain selain keterpaksaan oleh dasar pemaksaan kepada korban perkosaan. Adanya upaya reviktimisasi yang dilakukan oleh jaksa tersebut melanggengkan budaya kekerasan dan subordinasi perempuan. Ini akan semakin menyudutkan korban dan mengganggu pemulihannya. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparatur negara.
Maka Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia dengan ini menyatakan sikap untuk menolak kasasi dari JPU terkait kasus WA! PKBI mendorong Mahkamah Agung untuk menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum. Sudah seharusnya apparat penegak hukum melindungi korban perkosaan, bukan malah mengkriminalisasi dan menempatkannya pada kesakitan yang berlapis. Itu sama saja “membunuh” korban perkosaan secara perlahan. Hukum harus hadir dengan semangat keadilan restoratif dan tidak mengkriminalisasi korban!
Jakarta, 26 September 2018
Dr. Sarsanto Wibisono Sarwono, SpOG
Ketua Pengurus Nasional PKBI
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Riska Carolina, SH. MH. (Spesialis Advokasi dan Kebijakan Publik PKBI) di nomor telepon 081289886442.
PKBI turut serta menjadi sahabat peradilan dalam kasus ini, berikut argumentasi kami dapat diunduh di sini.