Leny Jakaria Resmi Dilantik sebagai Direktur Eksekutif PKBI: Semangat Baru di Hari Kartini
24 April 2025
Show all

Vasektomi dan Jalan Pintas Pengentasan Kemiskinan

Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, dalam rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat tanggal 28 April 2025, mengutarakan KB pria berupa vasektomi akan menjadi syarat untuk penerima bantuan sosial. Rapat ini juga dihadiri Mensos Saifullah Yusuf, Mendes PDT Yandri Susanto, Mendukbangga/Kepala BKKBN Wihaji, Menkes Budi Gunadi Sadikin hingga perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Usulan pria yang akrab disapa KDM ini, dilatarbelakangi pertemuannya dengan bocah penjual kue yang ibunya sedang hamil anak ke-11. Pada kesempatan lain, KDM menemukan satu keluarga miskin punya anak 16. Ada juga yang sampai  punya 22 anak.

Dalam hal ini, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang memulai Gerakan Keluarga Berencana di Indonesia, perlu memberikan pendapatnya.

Vasektomi diwajibkan adalah Jalan Pintas yang Bertentangan atas Hak Seksual dan Reproduksi

Potong atau menutup saluran sperma pria, yang dikenal sebagai vas deferens, adalah metode kontrasepsi permanen yang dikenal sebagai vasektomi. Sejak tahun 1970, metode ini digunakan sebagai salah satu cara untuk ber-KB dengan partisipasi laki-laki.

Mengaitkan bantuan sosial dengan menjalani vasektomi, disamping tidak etis, juga melanggar hak dasar untuk kesehatan seksual dan reproduksi. Hak ini menetapkan kapan, bagaimana, dan dengan siapa seseorang ingin memiliki anak harus dihormati. Kebijakan ini menjadi bentuk pemaksaan terselubung (coercion) ketika prosedur medis seperti vasektomi dipaksakan sebagai syarat bantuan.

Hak atas integritas tubuh, atau autonomi tubuh, setiap orang dilanggar ketika vasektomi diwajibkan. Hak ini mencakup hak setiap orang untuk mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri, termasuk keputusan tentang kesehatannya. Selain itu, ini melanggar prinsip bebas dari paksaan yang ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights tentang integritas tubuh dan kebebasan untuk membuat keputusan pribadi, Konvensi CEDAW (yang telah diratifikasi di Indonesia), dan Konferensi ICPD Kairo 1994, yang menyatakan bahwa pelayanan keluarga berencana harus dilakukan secara sukarela, tanpa tekanan atau paksaan.

Selain itu, kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang di Indonesia, seperti Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, Pasal 55 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.” Menurut Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, program kesejahteraan keluarga (KB) dilaksanakan secara sukarela, bukan dengan paksa. Selain itu, prinsip etika kedokteran menyatakan bahwa prosedur medis tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan informed (persetujuan sadar dan sukarela pasien).

Pembelajaran dari Keberhasilan Keluarga Berencana di Indonesia, Tanpa Paksaan yang dilakukan oleh PKBI

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), organisasi swadaya masyarakat yang berdiri sejak 23 Desember 1957 merupakan LSM tertua di Indonesia yang prihatin terhadap masalah kependudukan terutama dengan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. PKBI dimotori oleh dokter pribadi Presiden Soekarno, dr. R.Soeharto bersama sekelompok tokoh masyarakat dan ahli Kesehatan. PKBI lahir bahkan sebelum pemerintah membentuk program Keluarga Berencana nasional di Indonesia.

Di Indonesia, program keluarga berencana berhasil karena didukung oleh berbagai kampanye dan upaya pendidikan serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti tokoh agama dan masyarakat. Program ini tidak dipaksakan; sebaliknya, prinsip sukarela dan hak individu untuk memiliki metode KB yang sesuai menjadi dasarnya.

Dalam lima puluh tahun terakhir, Total Fertility Rate (TFR) Indonesia telah menurun tajam. Jumlah anak per perempuan turun dari 5,6 anak per perempuan pada tahun 1971 menjadi 2,1 anak per perempuan pada tahun 2023 yang artinya, rata-rata perempuan Indonesia pada masa suburnya hanya melahirkan dua anak. Program keluarga berencana (KB) dan peningkatan penggunaan kontrasepsi di seluruh wilayah Indonesia adalah penyebab penurunan ini.

Menatap Ke Depan: Potensi dan Harapan Keluarga yang Bertanggung Jawab

Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang melakukan tugas pengasuhan, perlindungan, pendidikan, ekonomi, dan pembinaan nilai moral secara proporsional dan terus menerus. Sejak tahun 1957, PKBI telah mendukung keluarga tanggung jawab.

Dalam keluarga bertanggung jawab, setiap anggota, terutama orang tua, memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebutuhan sosial dan emosional, jumlah anak, dan pendidikan mereka. komunikasi yang terbuka, pola asuh yang penuh kasih, dan keterlibatan aktif dalam kehidupan masyarakat. Keluarga yang baik juga membantu mengurangi risiko sosial seperti putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan pernikahan dini. Akibatnya, keluarga yang bertanggung jawab sangat penting untuk mencetak generasi yang sehat, mandiri, dan berdaya saing, dan juga sangat penting untuk keberhasilan pembangunan negara yang inklusif dan berkelanjutan.

Menurut data UNICEF tahun 2023, ada 25,53 juta perempuan Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun. Indonesia menempati peringkat keempat paling banyak kasus pernikahan dini di dunia, di belakang India, Bangladesh, dan China. Dengan 5.523 pernikahan dini pada tahun 2022, Jawa Barat menempati peringkat ketiga di Indonesia. Tidak diragukan lagi, angka ini berkontribusi pada tingkat kemiskinan keluarga.

Pernikahan dini memiliki banyak efek yang dapat memengaruhi masa depan anak, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan karena organ reproduksinya belum matang secara biologis. Hal ini dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi, bayi lahir prematur, atau bayi bergizi buruk.

Selain itu, pernikahan dini sering menyebabkan anak-anak, terutama perempuan, putus sekolah, yang mengakibatkan kehilangan akses terhadap pendidikan yang layak dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang berlangsung antar generasi. Stres, kekerasan dalam rumah tangga, dan perceraian dini lebih mungkin terjadi jika orang tidak siap mental dan emosional untuk mengatasi dinamika rumah tangga. Selain itu, pernikahan dini menghilangkan hak anak untuk membuat keputusan penting dalam hidup mereka dan membatasi hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu, pernikahan dini bukan sekadar masalah tradisi atau budaya; itu adalah masalah besar yang berkaitan dengan hak anak, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan manusia yang berkelanjutan.

Memperbaiki Sistem Bantuan Sosial

Tantangan besar dalam menciptakan dan menerapkan program perlindungan sosial ditunjukkan oleh fenomena banyaknya keluarga yang terus memiliki anak lebih dari dua untuk mendapatkan bantuan sosial. Pola ini menunjukkan bahwa sebagian orang melihat bantuan sebagai cara untuk menghasilkan uang dalam jangka panjang daripada sebagai perlindungan sementara. Memutus rantai kemiskinan dan mendorong kemandirian ekonomi adalah tujuan utama bantuan sosial. Bukan untuk melahirkan ketergantungan.

Karena jumlah anak yang besar tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi dan pengasuhan yang memadai, keluarga dalam situasi ini justru berisiko terjebak dalam kemiskinan struktural yang diwariskan lintas generasi. Oleh sebab itu, sistem bantuan sosial perlu dilengkapi dengan mekanisme edukasi, skema graduasi, serta penguatan peran pendamping dan penyuluh sosial untuk memberikan pemahaman bahwa kesejahteraan tidak hanya datang dari jumlah bantuan, tetapi juga dari kualitas perencanaan keluarga dan pembangunan manusia. Program bantuan seharusnya mendorong keluarga memiliki dua anak sehat, sesuai dengan prinsip pembangunan keluarga berkualitas, bukan malah menjadi pemicu suburnya kelahiran yang tidak direncanakan.

Di sinilah peran penyuluh dan pendamping menjadi sangat penting sebagai katalisator perubahan sosial di tingkat akar rumput yang terkait dengan keluarga. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa ada lebih dari 300 ribu tenaga pendamping dan penyuluh di Indonesia yang bekerja di berbagai sektor. Ini merupakan kekuatan sosial yang luar biasa yang membantu keluarga mempersiapkan diri untuk hidup sendiri.

Sebagai penutup, kami mendukung upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan karena itu merupakan bagian dari mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi semua orang. Namun demikian, PKBI tidak setuju jika kebijakan tersebut diterapkan dengan cara yang mengabaikan atau melanggar Hak-Hak Seksual dan Reproduksi (HKSR). Hak asasi manusia tidak dapat dikompromikan, termasuk hak atas tubuh, hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran, dan hak untuk mendapatkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas.

Leny Jakaria

Direktur Eksekutif PKBI