Pemeriksaan Berperspektif Korban yang Diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
15 August 2019
Liputan Media: Hari Remaja Internasional, PKBI Ajak Remaja Bahas Kesehatan Reproduksi
15 August 2019
Show all

Press Release : Setuju RKUHP Buru-buru Disahkan: Pemerintahan Presiden Joko Widodo Abai terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia

[MEDIA RILIS ICJR, RC, PKBI, IPPI]

[15 Agustus 2019]

Jika Presiden Joko Widodo serius berkomitmen untuk menjamin kesehatan semua orang seperti yang diserukan dalam Pidato Visi Presidennya, maka seharusnya Presiden tidak begitu saja menyerukan pengesahan RKUHP. RKUHP masih memuat kriminalisasi semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan, kriminalisasi pengguna dan pecandu narkotika, termasuk wacana mengkriminalisasi kelompok rentan pekerja seks dan kelompok orientasi seksual berbeda, sampai dengan pelarangan promosi alat kontrasepsi yang akan memberikan dampak buruk pada penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia._

Diberitakan bahwa Kamis 15 Agustus 2019, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko menggelar rapat bersama tim Perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dari pemerintah di Kantor Staf Presiden (KSP) Jakarta Pusat. Dalam rapat tersebut, KSP memberi waktu tenggat hingga akhir Agustus 2019 untuk merampungkan pembahasan RKUHP, dengan mengamini bahwa permasalahan RKUHP hanya tinggal 3 isu: penghinaan presiden, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana khusus.

ICJR, Rumah Cemara, PKBI dan IPPI mengkritik keras pernyataan tersebut yang lagi-lagi seolah menetapkan “deadline” bagi pengesahan RKUHP, Pemerintah begitu saja mengamini bahwa permasalahan hanya tinggal 3 isu dan sepakat mengesahkan RKUHP dengan terburu-buru. Padahal, jika Pemerintah Presiden Joko Widodo benar-benar serius membahas RKUHP, terdapat banyak rumusan RKUHP yang nantinya mempengaruhi kerja-kerja pemerintah, salah satunya di bidang penanggulangan HIV/AIDS.

RKUHP masih berkaca pada penanggulangan HIV/AIDS yang hanya berfokus pada abstinence-only program atau program yang hanya mempropagandakan “tidak sama sekali berhubungan seksual sebelum menikah” dan mempropagandakan “perang terhadap narkotika” dengan:

1. Mempidana semua bentuk hubungan seksual konsensual di luar perkawinan (Pasal 446 ayat (1) huruf e pada draft 9 Juli 2018/ Pasal 433 ayat (1) huruf e draft 25 Juni 2019 tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan;

2. Wacana kriminalisasi prostitusi (Pasal 489 draft 2015 dan wacana lainnya tentang kriminalisasi pekerja seks dan prostitusi);

03. Mewacanakan hukuman pidana untuk kelompok dengan orientasi seksual berbeda (Pasal 469 dalam draft 2 Februari 2018 tentang kriminalisasi perbuatan cabul sesama jenis);

4. Mempidana pengguna dan pecandu narkotika dengan diakomodirnya pasal karet tindak pidana narkotika (Pasal 630-635 RKUHP draft 25 Juni 2019);

5. termasuk yang paling mengkhawatirkan adalah mempidana kegiatan mempromosikan/ mempertunjukkan tanpa diminta alat pencegahan kehamilan/ kontrasepsi, pada Pasal 443 jo Pasal 445 RKUHP draft 9 Juli 2018/ Pasal 430 jo Pasal 432 RKUHP draft 25 Juni 2019.

Padahal, banyak negara-negara di dunia termasuk UNAIDS yang telah menyerukan bahwa pendekatan abstinence-only atau propaganda “tidak sama sekali berhubungan seks sebelum menikah” dan propaganda “perang terhadap narkotika” dalam menanggulangi HIV/AIDS membawa dampak buruk pada kesehatan masyarakat.

Dalam Criminal Law, Public Health and HIV Transmission: A Policy Options Paper oleh UNAIDS pada 2002 dinyatakan bahwa

“Pembuat kebijakan harus mengakui pelajaran sejarah, yang menunjukkan larangan – misalnya larangan alkohol dan obat-obatan lain, hubungan suka sama suka, atau prostitusi tidak pernah berhasil mencegahnya perilaku—perilaku beresiko, dan bahwa kerusakan yang terjadi setelah menstigmatisasi mereka dan mendorong mereka ke bawah tanah telah lebih besar daripada kerusakan apa pun (atau yang dianggap merugikan) dari kegiatan itu sendiri.”

Perilaku beresiko transmisi HIV/AIDS, seperti hubungan seksual tanpa pengamanan dan penggunaan narkotika suntik secara tidak aman, yang merupakan kunci dari intervensi untuk penanggulangan HIV/AIDS jelas tidak akan dilaporkan kepada petugas kesehatan karena dibayangi oleh ancaman kriminalisasi. Hal yang paling dasar sekalipun, yaitu promosi penggunaan kondom yang seharusnya bisa dilakukan semua lapisan masyarakat akan dipidana.

Hal ini menumbuhsuburkan stigma terhadap populasi-populasi sasaran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia seperti pekerja seks, pelanggan pekerja seks yang jumlahnya terestimasi oleh Kementerian Kesehatan berjumlah 5.254.065 laki-laki, kelompok dengan orientasi seksual berbeda yang sering menjadi korban kekerasan termasuk pengguna dan pecandu narkotika yang seharusnya hak kesehatannya dilindungi oleh negara.

Ketakutan akan stigma yang diberikan dan ancaman kriminalisasi akan membuat kelompok sasaran tersebut tidak mengakses layanan, termasuk kelompok perempuan yang rentan tertransmisi HIV dari pasangannya. Padahal salah satu poin penting dari penanggulangan HIV/AIDS adalah keterjangkauan atau outreach layanan dan penjangkauan kepada populasi sasaran. Sampai dengan Desember 2018, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa hanya 51,1 % infeksi HIV yang berhasil didata oleh kemenkes, Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk menjangkau populasi sasaran tersebut, namun, RKUHP justru akan menghambat kerja keras tersebut.

Jika Pemerintah Presiden Joko Widodo serius berkomitmen untuk menjamin kesehatan semua orang seperti yang diserukan dalam Pidato Visi Presidennya, maka seharusnya Presiden tidak begitu saja mengamini bahwa pembahasan RKUHP telah rampung dan segera disahkan, ada banyak hal yang akan berdampak pada kerja-kerja pemerintah, salah satunya penanggulangan HIV/AIDS.

Hormat Kami,
15 Agustus 2019

Rumah Cemara

Institute for Criminal Justice Reform

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

Narahubung:

– Rumah Cemara (Ardhany S./ 0822-2770-3428))

– Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Maidina R/ 0857-7382-5822))

– Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) (Riska Carolina/ 0812-8988-6442: whatsapp only))

– Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) (Baby Rivona/ 0812-3050-2997)