PKBI: Aborsi Akibat Perkosaan Seharusnya Tidak Dipidana!
23 July 2018
Eratkan Koordinasi Tim Kemanusiaan, PKBI Selenggarakan Lokakarya
8 August 2018
Show all

Menyoal Diskriminasi terhadap Perempuan: 34 Tahun Pasca Ratifikasi CEDAW

Oleh: Arief Rahadian

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), atau yang biasa disebut sebagai ‘Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita[1]’ adalah perjanjian internasional yang diadopsi pada tahun 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjanjian yang terdiri dari 30 pasal ini menjelaskan tentang definisi dan jenis-jenis diskriminasi terhadap perempuan, serta inisiatif yang dapat diambil oleh sebuah negara untuk menghentikan praktik-praktik tersebut.

Hingga saat ini, sebanyak 189 negara telah meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, termasuk Indonesia; melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Implikasi dari ratifikasi terhadap konvensi tersebut adalah negara – dalam kasus ini, Indonesia – memiliki kewajiban untuk menerbitkan peraturan, program, tindakan khusus sementara, serta melakukan upaya-upaya lain untuk menjamin terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai “… segala bentuk pembedaan, eksklusi, dan pembatasan berbasis jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk mencederai atau menghilangkan rekognisi, kesenangan atau pergerakan perempuan, terlepas dari status perkawinannya, berbasis kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan ranah-ranah lainnya.”

Selain membahas tentang upaya pengentasan diskriminasi terhadap perempuan, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita juga turut membahas tentang prinsip kesetaraan. Konvensi tersebut menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum; kesempatan yang sama untuk mengakses institusi pendidikan, fasilitas kesehatan dan pekerjaan; serta hak yang sama baik di ranah privat maupun publik.

Indonesia dan Diskriminasi terhadap Perempuan

Terlepas dari komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin kesetaraan gender dan pengentasan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok perempuan di Indonesia relatif masih berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sebagai contoh, di ranah ekonomi, perempuan memiliki angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang lebih rendah daripada laki-laki.

Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik pada bulan Februari 2017, laki-laki memiliki nilai TPAK sebesar 83.05%, sedangkan nilai TPAK perempuan dalam periode yang sama hanya 52.71%. Rendahnya nilai TPAK perempuan dapat dikaitkan dengan stigma yang melekat pada kelompok perempuan: bahwa perempuan tidak memiliki tempat di ranah publik, bahwa kewajiban perempuan hanyalah mengurus “dapur, sumur, dan kasur”.

Lemahnya posisi perempuan di ranah ekonomi juga tercermin dari gender pay gap, atau selisih gaji berbasis gender yang merugikan perempuan. Data dari BPS menunjukkan bahwa rata-rata upah yang diterima oleh buruh laki-laki per Februari 2017 adalah Rp 2.95 juta per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata upah yang diterima buruh perempuan sebesar Rp 2.27 juta per bulan. Hal ini agaknya menjadi alarm bagi komitmen pemerintah untuk menjamin kesetaraan gender di sektor ekonomi.

Terkait diskriminasi terhadap perempuan, kelompok perempuan Indonesia juga masih berada di posisi yang tidak menguntungkan. Komisi Nasional Perempuan menemukan sekurang-kurangnya 421 kebijakan daerah yang mendiskriminasi perempuan, selama periode pengamatan dari tahun 2009 hingga 2016. Temuan tersebut menjadi penting untuk dibahas, karena ratifikasi konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita harusnya membatasi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan yang bersifat diskriminatif.

Selain keberadaan peraturan daerah yang diskriminatif, berbagai praktik kekerasan terhadap perempuan juga marak ditemukan di seluruh penjuru Indonesia; mulai dari sunat perempuan, perkawinan anak, hingga viktimisasi korban kekerasan seksual. Lantas, apakah hal ini berarti Indonesia telah gagal dalam mewujudkan ratifikasi konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita?

Perlunya Optimisme dan Upaya Kolektif

Permasalahan diskriminasi dan kesetaraan gender di Indonesia kerap digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan; dan pada kenyataannya memang demikian. Akan tetapi, kondisi kesetaraan gender di Indonesia – dalam beberapa laporan pemerintah – dinilai terus membaik setiap tahunnya. Sebagai contoh, Rappler.id melaporkan bahwa pada tahun 2017, angka kesetaraan gender dalam sektor kesehatan berada di titik 97.6%, sedangkan angka kesetaraan di sektor pendidikan berada di titik 98.6%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan dan diskriminasi memiliki derajat yang berbeda di tiap sektor. Perempuan Indonesia yang relatif mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pekerjaan dan upah yang layak ternyata relatif mendapatkan kemudahan untuk mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan – setidaknya berdasarkan laporan tersebut. Artinya, pemerintah dan pemangku kepentingan lain (termasuk masyarakat sipil) dapat memfokuskan tenaga mereka untuk memperbaiki ketimpangan di sektor-sektor yang genting.

Kesenjangan dan diskriminasi terhadap perempuan adalah masalah; dan ia akan selalu menjadi masalah, terlepas apapun justifikasinya. Perjuangan harus terus dilakukan sampai kesetaraan dan pengentasan diskriminasi terhadap perempuan terpenuhi di seluruh lini masyarakat. Keterlibatan dan kesadaran seluruh elemen masyarakat bahwa mereka adalah pemangku kepentingan, serta optimisme yang diiringi oleh pemikiran strategis menjadi solusi yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

 

Sumber:

Sakinah Ummu Haniy. 2018. Menilik Fakta Ketimpangan Gender Indonesia. Rappler. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: https://rappler.idntimes.com/sakinah-haniy/menilik-fakta-ketimpangan-gender-indonesia-1/full

Fathiyah Wardah. 2017. Komnas Perempuan Temukan 421 Kebijakan Diskriminatif. VoA Indonesia. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: https://www.voaindonesia.com/a/komnas-perempuan-temukan-421-kebijakan-diskriminatif/3940841.html

CEDAW. International Models Project on Women’s Right. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: https://www.impowr.org/pages/cedaw

CEDAW. United Nations. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/

CEDAW. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/cedaw.pdf

The Jakarta Post. 2018. Breaking the glass ceiling. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: http://www.thejakartapost.com/academia/2018/07/02/breaking-the-glass-ceiling.html

The Jakarta Post. 2017. Indonesia Still Struggles to Close Gender Equality Gap UNDP. Diakses pada tanggal 25 Juli 2018 di: http://www.thejakartapost.com/news/2017/03/22/indonesia-still-struggles-to-close-gender-equality-gap-undp.html

[1] Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 menggunakan terminologi ‘Wanita,’ alih-alih ‘perempuan’ dalam menyebut  ‘Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita’.