Annual Report 2015
18 April 2017
Siaran Pers : Koalisi 18+ Mendesak Presiden, Menteri KPPPA dan Menteri Agama Memprioritaskan Penyelesaian Rencana Penghapusan Pasal Perkawinan Anak dalam UU Perkawinan
6 May 2017
Show all

Mempererat Simpul Jejaring Remaja Perempuan, Hapuskan Perkawinan Anak

Jakarta, 3 Mei 2017. Puluhan aktivis, peneliti, akademisi dan pemerhati perkawinan anak urun rembug pada pertemuan dwi bulanan kedua ‘AKSI’ (Jaringan Aksi Perempuan Remaja Sehat dan Berdaya” di Aula Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Kalibata, Jakarta Timur, Rabu (3/5). Pertemuan kali ini membahas konsolidasi jaringan dalam melakukan akselerasi penghapusan perkawinan anak di Indonesia.

Berjejaring merupakan hal yang penting untuk diperhatikan ketika melakukan advokasi, misalnya pada isu perkawinan anak. Hal tersebut dibuktikan dalam perjuangan pada saat mengajukan Judicial Review (JR) pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), akhir tahun 2014. “JR 3 tahun lalu menjadi pelajaran berharga melakukan advokasi penghapusan perkawinan anak. Saat itu Mahkamah Konstitusi menolak permohonan JR untuk menaikkan usia perkawinan anak perempuan dari 16 menjadi 18 tahun,” tutur Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin K. Susilo pada sesi pembuka berbagi pengalaman tentang efektivitas berjejaring.

“Belajar dari pengalaman berharga tersebut, kita harus merekatkan simpul-simpul jejaring. Advokasi merupakan proses yang panjang, dengan hasil jangka panjang. Oleh karenanya, Jaringan AKSI menjadi wadah yang mempertemukan berbagai elemen masyarakat, pemerintah, NGO untuk bersama melakukan advokasi menghapuskan perkawinan anak,” tutur Zumrotin.

Seperti kita ketahui bersama, pada 20 April 2017, Tim Kuasa Hukum Koalisi 18+ mewakili tiga orang perempuan korban perkawinan anak kembali mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan Ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini dengan batu uji yang berbeda yaitu Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 – warga negara adalah sama kedudukannya, hak dan kewajibannya untuk mendapat perlakuan yang sama dari negara.

JR jilid II (dua) ini berupaya untuk menaikkan usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun. Tekanan masyarakat untuk menghapuskan perkawinan anak juga terjadi dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 25-27 April 2017. Salah satu dari tiga fatwa KUPI yang disampaikan langsung kepada Menteri Agama adalah penghapusan perkawinan anak di Indonesia.

“Ketika rancangan Perppu Penghapusan Perkawinan Anak yang diinisiasi oleh masyarakat sipil mangkrak di Kantor Staf Presiden (KSP), JR jilid II menjadi upaya berikutnya yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk mengajak masyarakat khususnya kaum muda untuk menyuarakan penghapusan perkawinan anak,” tutur Tim Kampanye Koalisi 18+ dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Ryan A. Syakur dalam sesi berbagi pengalaman berjejaring remaja.

Selain itu, menurut Ryan, JR jilid II juga salah satu langkah advokasi untuk mendorong Negara untuk serius dalam upaya penghapusan perkawinan anak. “Korban perkawinan anak terus meningkat. Negara harus hadir untuk memastikan tidak ada satupun anak Indonesia yang mengalami perkawinan anak. Nah, Jaringan AKSI harus menjadi wadah yang merekatkan simpul-simpul jejaring remaja untuk melakukan advokasi mendorong perubahan kebijakan tersebut,” tutur Ryan.

Senada dengan hal tersebut, Koordinator Nasional Right Here Right Now Indonesia Ferena Debineva dalam sesi berbagi pengalaman berjejaring remaja, menekankan kembali pentingnya meaningful youth participation dalam advokasi perkawinan anak. “Anak muda perlu diberi ruang untuk bersuara dan berkolaborasi dengan orang dewasa. Kan selama ini seolah-olah anak muda identik dengan media sosial saja,” kata Fe.

“Padahal lebih dari itu, anak muda bisa merancang advokasi kreatif yang sesuai. Keterlibatan anak muda untuk memberikan partisipasi yang bermakna juga harus didukung oleh lingkungan fisik dan non-fisik, terutama dukungan dan arahan yang bersifat membangun dari orang dewasa” tutur pendiri SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia) ini.

Sementara itu, masih dalam sesi berbagi pengalaman berjejaring remaja, Wakil Koordinator Nasional Aliansi Remaja Independen (ARI) Achmad Mujoko sepakat bahwa lingkungan fisik dan non-fisik di sekitar anak muda mempengaruhi keberaniannya untuk bersuara. ARI dalam program ASK (Access, Service, Knowledge) pernah melakukan penelitian tentang meaningful youth participation. “Hasil dari penelitian tersebut, tantangannya adalah bagaimana anak muda bisa bekerja tanpa adanya birokrasi yang njelimet (ribet), yakni dengan dukungan dari lingkungan fisik dan non-fisik. Anak muda maju bersuara dengan didukung dari belakang,” tutur Jojo.

“Dalam isu perkawinan anak, kini anak muda yang bersuara. Bukan hanya dilibatkan dalam berbagai seminar, namun dia maju sebagai aktor dan tim teknis yang menentukan mekanisme (advokasinya),” ujar Jojo.

Setelah sesi berbagi pengalaman berjejaring remaja, pertemuan dilanjutkan dengan pembahasan lanjutan tentang struktur jaringan AKSI yang dimoderatori oleh Direktur Eksekutif Rumah KitaB (Rumah Kita Bersama). Turut hadir Wakil Ketua PKBI Atashendartini Habsjah, Child Protection Program Advisor Plan Indonesia Amrullah Sofyan, perwakilan UNICEF dan kawan-kawan aktivis, peneliti, akademisi dan pemerhati perkawinan anak. Pertemuan dwi bulanan berikutnya akan dilakukan di PKBI, Rabu 12 Juli 2017.

[pkbi.or.id – RAS]