Hari Interseks Sedunia 2019 : Visibilitas untuk yang Tidak Terlihat
26 October 2019
LIPUTAN MEDIA : Direktur PKBI Jatim Ajak Remaja Gotong Royong Menekan Persebaran HIV/AIDS
28 October 2019
Show all

Eka Purni: Pemimpin Muda Bicara Partisipasi Aktif Remaja

Akhir bulan September 2019 lalu, Indonesia untuk pertama kalinya menginisiasi sekaligus menjadi tuan rumah konferensi keluarga berencana dan kesehatan reproduksi tingkat internasional. Pertemuan selama tiga hari berfokus pada keluarga berencana dan reproduksi di Indonesia, sehingga dapat memberikan panggung bagi pegiat, peneliti, dan tenaga kesehatan dalam negeri untuk memberikan insight serta ruang bagi pelaku kesehatan untuk bertemu dan berbagi. International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health menghadirkan kelompok yang seringkali menjadi pusat dalam wacana kesehatan seksual dan reproduksi, yakni youth atau remaja. 

 

Ni Luh Eka Purni Astiti adalah salah satu representasi youth yang menghadiri ICIFPRH. Sekarang, ia aktif sebagai Program Manager Get Up Speak Out PKBI Bali dan saat ini masih menjadi relawan KISARA. Guna mencapai outcome jangka panjang yakni pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi remaja ragam identitas, strategi GUSO berfokus pada pendidikan dan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas komprehensif serta layanan HKSR berkualitas dan ramah remaja. Strategi tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai kegiatan: meningkatkan akses pendidikan seksualitas komprehensif untuk remaja di sekolah maupun luar sekolah, penguatan layanan kesehatan yang ramah remaja, pemberdayaan remaja sehingga dapat menyuarakan hak-haknya, serta meningkatkan dukungan publik terkait isu HKSR.

 

Selama menjadi Koordinator Kisara (2016-2017) dan Program Manager GUSO (2016), Eka mendapatkan pengalaman tidak hanya dalam momentum tertentu, melainkan dalam perjalanan sebagai koordinator dan program manager. Pengetahuan yang didapatkan lebih dari kesehatan seksual dan reproduksi, yaitu pengetahuan organisasi, kebijakan yang terkait kesehatan seksual dan reproduksi, serta keterlibatan remaja yang bermakna. Soft skill yang didapatkan melalui pengalaman tersebut tidak kurang dari keterampilan public speaking, negosiasi, manajemen, dan berpikir kritis. Sebagai seseorang yang aktif berkomunikasi ia memperluas networking saat mengikuti kegiatan nasional maupun internasional, bertemu dan belajar langsung dari expertise di bidangnya. Bertemu dengan orang-orang berpaham serupa juga memperkuat gerakan HKSR untuk remaja. Tujuannya bukan lagi kompetisi antar organisasi, melainkan kolaborasi agar lebih kuat dan luas manfaatnya untuk remaja sebagai penerima manfaat dan aktor utama dalam program yang sedang dijalankan. 

Di samping kegiatannya bersama PKBI, Eka terlibat dalam komunitas Sadar Sehat yang memfasilitasi remaja-remaja yang memiliki potensi dan prestasi untuk berbagi pengalaman pada masyarakat melalui siaran radio. 

 

Sebagai pemuda yang aktif dalam lingkup HKSR, Eka dapat mengidentifikasi metaproblem berjalannya program. Dalam sesinya di ICIFPRH, ada satu poin menarik menggelitik peserta plenary di hari kedua yang lebih dari setengahnya adalah youth. Selama ini, youth memang dilibatkan dalam program-program HKSR, tetapi pada kenyataannya mereka belum tentu dilibatkan penuh dalam pelaksanaan. Beberapa hanya menempati peran-peran tertentu dan menjadi representasi, sehingga remaja tidak ditemukan dalam susunan manajemen penggerak program. 

Dari Remaja untuk Remaja

 

Persoalan keterlibatan aktif remaja dalam program HKSR merupakan satu hal yang menjadi perhatian Eka. Remaja dan orang dewasa seharusnya bisa bekerja bersama bila saling menghormati dan komunikasi berjalan lancar. Relasi kuasa atau ketimpangan dalam tim akan sangat sulit untuk diabaikan, mengingat remaja dan orang dewasa memiliki perbedaan dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara berpikir. Ketimpangan ini harus diakui keberadaannya dan sebabnya. Pengetahuan dan pengalaman mempengaruhi cara berpikir yang maju. Sementara, orang muda belum tentu mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang sama. 

 

‘Bahasa program’ yang tidak ramah remaja menghambat komunikasi praktis antara orang dewasa dan remaja. Orang dewasa akan dapat menjelaskan suatu program atau strategi yang sulit dipahami, sedangkan remaja cenderung butuh waktu untuk memproses istilah-istilah eksklusif HKSR. Maka, tidak benar bila orang muda dipandang negatif karena persoalan ini. Begitu pun sebaliknya, remaja juga terkadang tidak menghargai pandangan orang dewasa terhadap dinamika remaja. Untuk menyelesaikan problem penghambat jalannya program demi cita-cita bersama, penyesuaian harus datang dari kedua belah pihak. 

 

Sikap yang wajib ditanamkan dalam melaksanakan program dari youth untuk youth adalah belajar mendengarkan secara empati. Ingat bahwa tujuan akhirnya adalah proses pemberdayaan dan bukan pengajaran. Pendekatan yang digunakan membuka ruang diskusi, berdialog, menemukan pembelajaran dari tiap permasalahan, dan akhirnya menemukan solusi. Hingga pada akhirnya, dari remaja, untuk remaja, dan oleh remaja itu dapat terlaksana secara bermakna. 

 

Eka meyakini bahwa setiap remaja adalah ‘pakar’ dalam kehidupan mereka sendiri. Sumber pembelajaran datang dari pengalaman selama ini. Namun, jangan dilupakan kerendahan hati dan mendengarkan satu sama lain akan menghasilkan output yang jauh lebih positif. Setiap individu dalam tim sepatutnya memahami adanya perbedaan pandangan yang dipengaruhi tingkat pendidikan, lingkungan, dan pengalaman, sehingga fokus pada tujuan bersama yang ingin dicapai, bukan sibuk menjadi yang paling benar. 

Memahami dan Meresapi Nilai Program

 

Latar belakang yang berbeda berujung pada perbedaan nilai tiap-tiap orang, tidak terkecuali dalam satu tim. Keragaman ini sebetulnya bisa menjadi kekuatan internal program yang dapat memberikan variasi insight ketika menjangkau penerima manfaat. Akan tetapi, Eka merasa sebelum implementasi program, pada dasarnya remaja—atau siapa pun itu yang terlibat di dalamnya—memang harus benar-benar memahami apa yang ingin dicapai, baik itu tujuan jangka panjang maupun jangka pendeknya. Terkadang ditemukan situasi di mana pelaksana tidak meresapi nilai yang mendasari berjalannya suatu program. Sangat penting juga memahami mengapa program ini harus dijalankan dan menentukan ‘posisi’ pelaksana yang akan berpengaruh pada ketulusan serta elemen kemanusiaan dalam praktiknya. Masing-masing posisi harus memahami tujuan dan nilai serta memelihara ambisi yang sama terkait dengan pelaksanaan program. 

 

Penanaman nilai berjalan bersamaan dengan penguatan kapasitas. Kembali lagi pada poin remaja belum tentu memiliki pengetahuan dan pengalaman layaknya orang dewasa. Maka, perlu analisis apa yang perlu ditingkatkan baik konteksnya pengetahuan ataupun kemampuan. Menggali kemampuan dan kelemahan tim dapat memaksimalkan potensi dan menutupi kekurangan yang dimiliki. Dalam proses perkembangan program, sikap untuk terus belajar juga penting untuk dimiliki, sehingga program-program yang dijalankan tetap relevan dan menjawab kebutuhan remaja di komunitas. Di samping orang-orang yang menjalankan program, kualitas juga ditekankan pada substansi yang memberikan manfaat nyata pada penerima manfaat. Selalu adakan evaluasi apakah benar penerima merasakan perubahan pasca program. 

 

Orang muda dan PKBI

 

Eka yakin pada dasarnya, saat remaja sudah ingin bergabung sebagai relawan PKBI termasuk di youth center, mereka sudah memiliki modal awal untuk menolong remaja, lebih luasnya lagi masyarakat, terkait dengan visi misi PKBI. Di KISARA, tempat Eka belajar sebagai relawan, seseorang yang berkontribusi akan menjadi relawan selamanya tanpa menimbang bentuk atau ukurannya. PKBI termasuk youth center-nya bisa diibaratkan kampus yang mengajak remaja untuk menyerap langsung dari komunitas dan masyarakat atau terhubung dengan aktivis yang sudah mengerti medan. Remaja akan mendapat banyak hal untuk dirinya sendiri, tetapi tidak melupakan kepuasan menjalankan misi kemanusiaan. Semakin sering interaksi langsung dengan masyarakat dan komunitas, semakin beragam sumber pembelajaran dan pengasah empati kita terhadap orang lain. Relawan sebenarnya bukan status, tapi proses mengabdikan diri untuk terus belajar, berkontribusi, dan menjadi bagian dari solusi.

 

Foto: Dok. Pribadi