tirto.id – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mendesak pemerintah dan DPR agar membuka kembali diskusi terkait pidana aborsi dalam RKUHP.
Menurut peneliti ICJR Maidina Rahmawati, RKUHP harus lebih baik daripada UU Kesehatan, sehingga pidana aborsi harus dihapuskan demi melindungi korban pemerkosaan.
“Dalam pembahasan terakhir yang dapat diketahui oleh publik (28 Mei 2018), Pemerintah dan DPR tidak menjadikan pasal-pasal ini sebagai isu yang dianggap penting. Sampai dengan sekarang, belum ada pembahasan mendalam terkait dengan pasal tersebut dari Pemerintah dan DPR,” kata Maidina dalam siaran pers yang diterima Tirto, Rabu (4/9/2019).
Berdasarkan hasil keputusan rapat panja terbuka 27 Januari 2017, pasal-pasal tentang pengguguran kandungan ditunda pembahasannya karena mereka mengonsultasikan rumusan aborsi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Sampai dengan versi 28 Agustus 2019 yang diklaim pemerintah sebagai versi draf pemerintah, pasal-pasal tentang pengguguran kandungan masih menyisakan masalah yang mutlak harus diperbaiki oleh Pemerintah dan DPR pada masa pembahasan RKUHP ini,” tutur Maidina.
Dalam draf itu tertulis beberapa perbuatan terkait aborsi yang bisa menyeret seseorang ke penjara, seperti: (1) Pasal 251 ayat (1) tentang kriminalisasi memberi obat atau meminta seseorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan; (2) Pasal 415 tentang kriminalisasi mempertunjukkan alat untuk menggugurkan kandungan; (3) Pasal 470 ayat (1) tentang kriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya.
Riska Carolina, Advokat dan Spesialis Kebijakan Publik PKBI mengungkapkan bahwa ia menolak adanya pengaturan aborsi di RKUHP, sebab perbuatan itu telah diatur dalam UU Kesehatan.
“Jika kita telisik dari pembahasan UU Kesehatan, latar belakang hadirnya ketentuan mengenai aborsi adalah merespon aspek kesehatan yang harusnya dilindungi dalam praktik aborsi,” ujar Riska dalam siaran pers yang diterima Tirto.
Saat pembahasan RUU Kesehatan tahun 2008-2009, pemerintah mencatat tingginya Angka Kematian Ibu, sehingga kehadiran undang-undang itu dikeluarkan untuk mengatur praktik aborsi aman. “Aborsi boleh dilakukan dengan pengecualian, dan UU Kesehatan juga mengatur pemidanaannya,” tutur Riska.
Riska sependapat dengan Maidina jika RKUHP sangat diskriminatif terhadap korban perkosaan. “RKHUP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tindak dimuat,” ujarnya.
PKBI dan ICJR pun mendesak pemerintah dan DPR agar fokus pada pengaturan yang lebih baik tentang aborsi, karena jika merujuk pada UU Kesehatan Pasal 76, batasan usia aborsi adalah sebelum kehamilan berumur 6 minggu.
“Untuk korban perkosaan waktu 6 minggu merupakan waktu yang sangat singkat untuk memberikan jaminan korban perkosaan dapat melakukan aborsi. Korban perkosaan cenderung takut untuk melapor yang akhirnya membuat mereka tidak mengetahui kehamilannya, sehingga batas usia kehamilan pun melebihi syarat yang diatur,” tandasnya.
Baca selengkapnya di artikel “ICJR dan PKBI Desak Pemerintah Bahas Ulang Pidana Aborsi”, 4 September 2019 – https://tirto.id/ehxi