Liputan Media : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Gaungkan Tagline Baru
29 August 2019
Liputan Media : ICJR dan PKBI Desak Pemerintah Bahas Ulang Pidana Aborsi
9 September 2019
Show all

Aborsi dalam Kerangka RKUHP dan UU Kesehatan

Oleh: Riska Carolina

 

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, Angka Kematian Ibu(AKI) pada tahun 2012 menunjukkan tren kenaikan mencapai 359 kematian per 100.000 kelahiran, sedangkan lewat Pepres SGDs mentargetkan penurunkan angka kematian ibu menjadi 309 per 100.000 kelahiran di tahun 2019. Menurut BKKBN, Kehamilan tidak diinginkan menyumbang 75% angka kematian ibu, sementara data konsultasi kehamilan di PKBI selama 10 tahun konsisten menunjukkan bahwa 20 orang perhari mengalami kehamilan tidak diinginkan dimana 75% nya adalah pasangan yang menikah dan tidak lagi ingin menambah anak karena alasan kesehatan dan ekonomi. Kementerian Kesehatan sejak 2012 sudah menjalankan program penyediaan layanan kesehatan untuk ibu hamil sampai ke pedesaan, sehingga yang menjadi penting adalah memastikan perempuan hamil memeriksakan kehamilannya, dan memitigasi resiko atas kehamilan tidak diinginkan termasuk untuk korban perkosaan dan kehamilan yang membahayakan nyawa Ibu seperti yang telah diatur dalam UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, kriminalisasi bukan merupakan jalan tepat untuk menjamin akses informasi dan layanan kesehatan perempuan hamil.

Dalam RKUHP dinyatakan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain untuk menggugurkan kandungannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun penjara. Rumusan pasal ini bertentangan dengan Pasal 75 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa larangan aborsi kecualikan untuk kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang aborsi juga mengecualikan aborsi yang diperbolehkan untuk dilakukan atas kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan RKUHP berusaha mengkriminalkan semua bentuk perbuatan pengguguran kandungan, terlebih lagi secara spesifik pasal tersebut mengkriminalkan perempuan. Pengecualian pemidanaan hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut, namun tetap berlaku untuk perempuan yang melakukan. Hal ini jelas diskriminatif dan akan membahayakan program pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan angka kematian dini bayi.

Pada Ketentuan Penutup dari RKUHP Draft 28 Agustus 2019, Pasal 626 Ayat (1) huruf n, terungkap adanya proses rujukan yang membuat timbulnya ketidakpastian hukum. Seperti diketahui awam bahwa RKUHP merupakan lex generalis dan UU Kesehatan merupakan lex spesialis. Artinya RKUHP seharusnya mengatur hal-hal umum saja, sedangkan UU Kesehatan harus lebih komprehensif dan spesifik di segala aspek kesehatan. Akan tetapi, yang terjadi malah membenturkan antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Baik RKUHP dan UU Kesehatan, keduanya mengatur pidana. Namun karena di dalam konteks RKUHP dan UU Kesehatan seharusnya sanksinya mengikuti UU Kesehatan sebagaimana Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Maka dari itu seharusnya hukuman RKUHP tidak boleh lebih tinggi dari UU Kesehatan. Ada blur of norm yang mana memicu ketidakpastian hukum. Hal itu terlihat dari ketentuan penutup di RKUHP pasal 626 yang mencabut kekhususan dari undang-undang dalam kategori lex specialis, termasuk UU Kesehatan. Pasal 626 Ayat (1) huruf n, menyatakan bahwa Pasal 64 Ayat (2) dan Pasal 192 jo. Pasal 64 ayat (3) dari UU Kesehatan yang berisinya tentang transplantasi organ atau jaringan tubuh, dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan yang sama di RKUHP.

Jadi yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku hanyalah ketentuan pasal mengenai transplantasi organ atau jaringan tubuh di UU Kesehatan. Bukan terkait dengan aborsi sebagaimana dituliskan dalam Pasal 74 dan 75 UU Kesehatan. Maka dengan itu seharusnya

untuk aborsi tetap mengacu pada lex spesialis yaitu UU Kesehatan termasuk di dalamnya pengecualian aborsi, yaitu untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Akan tetapi di sana pula letak ketidakpastian hukumnya. Saat ini KUHP mengatur bahwa barang siapa yg melakukan aborsi akan dipidana. Namun jika kita melihat rumusan pasal saat ini, maka perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) akan menjadi korban, baik aborsi aman itu dilakukan dengan persetujuannya ataupun tidak.

Sejauh ini perempuan korban perkosaan pun selalu menggunakan KUHP dalam penyelesaian perkaranya. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu kekawatiran yang cukup besar, di mana RKUHP jika disahkan akan semakin melemahkan UU Kesehatan dalam memberikan pengecualian kepada perempuan yang mengalami KTD karena indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Perlu diingat RKUHP saat ini memberikan penegasan pada “perempuan” sebagai pelaku. Hal ini merupakan hal baru yang berbeda KUHP lama dan UU Kesehatan. Sehingga RKUHP hampir pasti diyakini akan berdampak buruk pada perempuan korban ataupun kepemilikan perempuan atas penguasaan tubuhnya sendiri.

Selain itu juga harus dipikirkan kembali perihal rujuk-merujuk pasal karena itu membuat timbulnya ketidakpastian hukum. Ada dua asas yang digunakan dalam satu waktu, yakni lex posterior derogat legi priori, yang mana hukum lebih baru menghapus hukum yang lama, serta lex specialis derogat legi generali. Perujukan ini membingungkan awam, padahal semua masyarakat Indonesia dianggap mengerti hukum. Serta kerancuan ini bertentangan dengan asas-asas kepastian hukum yaitu lex certa. Konsep lex certa, yakni asas kepastian. Kepastian ini melukiskan fungsi perlindungan bagi terdakwa dari hukum abuse of power. Fungsi kepastian hukum juga untuk memastikan bahwa negara wajib menuntut setiap perbuatan yang melanggar consensus nilai dalam masyarakat tanpa terkecuali. Sehingga, ketidakpastian hukum di sini akan sangat mungkin berdampak pada perempuan. Jika adanya perdebatan dan kebingungan ataupun ketidaksamaan konsensus dari suatu nilai, maka wajib seharusnya pasal dalam peraturan perundangan tersebut dikaji lagi. Masa transisi RKUHP yang diungkapkan akan berlangsung selama dua sampai tiga tahun rasanya terlalu cepat untuk aparat penegak hukum (APH) memahami hukum yang berkeadilan dan memandang perempuan dalam konteks RKUHP sebagai korban.

 

Tabel Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana versi 25 Juni 2019 dan 28 Agustus 2019

Draft Pem 25 Juni 2019

Draft Pem 28 Agustus 2019

Keterangan

Pasal 431

Setiap orang yang tanpa hak secara terang terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (sepuluh juta)

Pasal 415

Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Tidak ada perubahan

Called: ditolak/hapus

Atau:

– Kami dapat mentolerir pasal 415 asalkan menghapus frasa tanpa hak karena akan memundurkan edukasi masyarakat atas kesehatan reproduksi.

– Kami lagi-lagi mengusulkan frasa penghentian kehamilan daripada pengguguran kandungan. Karena yang dimaksud dengan kandungan adalah Rahim dan kehamilan hanya dapat dihentikan atau dilanjutkan. Ini adalah istilah medis yang tidak dapat digangugugat.

– Selain itu kami meminta untuk dapat diterimanya pasal 415 selain menghapus frasa tanpa hak, kami meminta pengecualian untuk orang yang menunjukan alat penguguran kandungan pada pasal 432 ditambahkan alasan kesehatan.

Redaksi pasal 415 berbunyi:

Setiap orang yang secara terang terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menghentikan kehamilan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (sepuluh juta)

Pasal 432

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan.

Pasal 416

2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan

Kami meminta pengecualian untuk orang yang menunjukan alat penghentian kehamilan pada pasal 416 ditambahkan alasan pengetahuan / pendidikan dan kesehatan

redaksi pasal 416 ayat (2)

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan dan kesehatan

Pasal 489

1)Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 470

1)Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

– Pasal 470 mengkriminalisasi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan (KTD), dengan ataupun tanpa persetujuan,

– padahal di ayat (2) tercantum jika tanpa persetujuan maka akan dikenakan pidana 12-15 tahun.

– Sedangkan pada pasal 490 menjelaskan setiap orang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujaun perempuan tersebut akan dipidan 5 tahun. Adanya inkonsistensi dalam redaksi pasal.

– Maka dari itu kami mengusulkan untuk pasal 489 ayat (1) dihapuskan, dan focus pada penghentian kehamilan tanpa persetujuan perempuan

Pasal 490

(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 471

(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Redaksi Pasal 471 Ayat (1)

Setiap Orang yang menghentikan kehamilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

Pasal 491

(3) Tidak dipidana, dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 472

(3) Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.

Pasal ini hanya mengecualikan dokter dan tidak mengecualikan perempuan.

Redaksi Pasal 472 (3)

Tidak dipidana, orang yang melakukan penghentian kehamilan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 626

1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
n. Pasal 64 ayat (2) dan Pasal 192 jo. Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

Tidak ada rumusan terkait UU Kesehatan sebelumnya dalam draft 25 Juni 2019.

Kami tidak menyetujui adanya pasal ini karena menyebabkan adanya ketidakpastian hukum.