Rilis Pers Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks)
Baru-baru ini beredar pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga (36 tahun), mahasiswa doktorat Indonesia yang berkuliah di Inggris, yang didakwa atas 159 serangan secara seksual termasuk di dalamnya 136 perkosaan, 8 percobaan perkosaan, 15 pencabulan (indecent assault) terhadap 48 orang laki-laki (Daily Mail UK, Marsden and Shears, 6 Januari 2020). Terhadap Reynhard Sinaga, Pengadilan Manchester menjatuhi hukuman minimum 30 tahun penjara.
Maraknya pemberitaan berkaitan dengan Reynhard Sinaga menjadi ramai diperbincangkan melalui media sosial maupun media online. Adapun terdapat miskonsepsi dan disinformasi yang tidak berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi dan menimbulkan stigma baru terhadap kelompok-kelompok tertentu berdasarkan latar belakang pelaku. Menjawab miskonsepsi dan disinformasi itu, kami dengan ini menjelaskan bahwa:
Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh dan kepada siapapun tanpa memandang kelas, tingkat pendidikan, agama, umur, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Kekerasan seksual berupa perkosaan, percobaan perkosaan, pencabulan, dan serangan seksual lainnya yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga merupakan suatu bentuk kekejian dan tindak kriminal. Kami mendukung hukuman berat terhadap Reynhard setimpal dengan perbuatannya.
Berdasarkan Naskah Akdemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU KS) disebutkan bahwa Kekerasan Seksual merupakan:
“setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Sedangkan menyangkut orientasi seksual, Arus Pelangi mengeluarkan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC yang menyebutkan bahwa orientasi seksual merupakan ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan emosi, romantis, dan/atau seksual. Ketertarikan manusia baik emosi, romantis, dan/atau seksual ini haruslah melibatkan persetujuan (consent) yang sebelumnya sudah mendapatkan pemahaman informasi (fully informed) untuk menjalin relasi ataupun hubungan seksual.
Menyalahkan orientasi seksual untuk tindakan kriminal seseorang adalah suatu upaya membelokkan isu kekerasan seksual ini menjadi suatu kebencian terhadap kelompok rentan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini yaitu menggunakan kesempatan korban yang tidak sadarkan diri karena mabuk alkohol untuk melakukan tindak kriminalnya. Seharusnya narasi media di Indonesia adalah mengenai hubungan seks di saat tidak berdaya. Selain itu, mengingat bahwa pemahaman masyarakat Indonesia mengenai sexual consent atau persetujuan seksual belumlah merata, kami mendorong untuk dapat disahkannya RUU KS, agar masyarakat dapat memahami setiap kekerasan seksual yang terjadi.
Patut untuk dicontoh dari Universitas Manchester, tempat pelaku mengambil gelar S2-nya di Inggris, adalah adanya layanan pengaduan melalui telepon yang menawarkan dukungan untuk korban kekerasan seksual ataupun bagi mereka yang terdampak. Selain itu juga, setiap civitas academia yang merasa telah menjadi korban dari Reynhard Sinaga dapat melaporkan kasusnya melalui layanan pengaduan tersebut. Sedangkan di Indonesia sendiri, kekerasan seksual yang lebih banyak terjadi kepada perempuan dalam lingkungan kampus, seperti kasus Agni di UGM ataupun kasus SS di UI, saat ini masih mandek sampai pengadilan.
Kasus Reynhard Sinaga yang terjadi di Inggris dapat menemui titik terang dikarenakan adanya hukum yang mengakomodir penanganan kasus kekerasan seksual. Sedangkan di Indonesia, pemberitaan di media mengenai kasus kekerasan seksual pada umumnya cenderung menyalahkan korban (victim blaming), intimidasi, sampai dengan impunitas pelaku.
Berdasarkan data Komnas Perempuan dalam Catatan Akhir Tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai 406.178 kasus di tahun 2018, meningkat 14% dari tahun sebelumnya (348.446 kasus). Jumlah tersebut kian meningkat dikarenakan adanya kekosongan hukum atas penanganan kekerasan seksual. Seharusnya kasus Reynhard Sinaga dapat menjadi pembelajaran, dan data Komnas Perempuan ini dapat mendorong pengesahan RUU KS yang berfokus pada penanganan kasus kekerasan seksual dan pemulihan korban tanpa kesat-kesat biner.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan.
Jakarta, 7 Januari 2020
Koalisi Organisasi Masyarakat
Sipil Anti Kekerasan Seksual
(Kompaks)
Organisasi yang mendukung pernyataan dan bagian dari Kompaks yaitu:
1. | YLBHI | 9. | Sanggar Swara |
2. | SGRC Indonesia | 10. | SEJUK |
3. | LBH Jakarta | 11. | LBH Pers |
4. | LBH Masyarakat | 12. | KontraS |
5. | Arus Pelangi | 13. | HRWG |
6. | PKBI | 14. | PurpleCode Collective |
7. | YPII | 15. | LBH Apik Jakarta |
8. | STFT Jakarta | 16. | ICJR |
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi: