Saat ini pasal-pasal bermasalah di RKUHP yang berkaitan dengan layanan kesehatan dan perempuan telah dinyatakan tidak akan dibahas kembali dan akan segera disosialisasikan di 2020. Padahal belum ada dialog antara praktisi kesehatan profesional dengan para pembuat kebijakan. Hal ini tentunya akan berdampak pada implementasi dan perubahan yang cukup signifikan terutama terkait dengan peraturan di bawah UU. Kesehatan 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seperti PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Permenkes No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Korban Perkosaan.
Maka dari itu, PKBI mengajak dokter dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dan rekanan masyarakat sipil yang memiliki pengalaman dalam mengadvokasi kebijakan terkait kesehatan untuk ikut dalam Diskusi Ahli: Keberlanjutan dan Implementasi dari Penanganan Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD) yang diadakan pada 9 Desember 2019 di Hotel Acacia Jakarta. Tujuan daripada diadakan diskusi ahli ini yakni pertama adalah untuk dengar pendapat antar ahli sehubungan dengan persoalan pasal aborsi dalam RKUHP yang akan mengkriminalisasi perempuan dan pihak-pihak lain yang membantu dilakukan aborsi aman. Kedua yaitu menghimpun dukungan para ahli untuk menyokong PKBI sebagai pemberi layanan sesuai dengan mandat Permenkes No. 3 tahun 2016.
Dr. Nurdadi dari POGI mencoba berargumen untuk menjawab permasalah pertama terkait dengan pasal aborsi dalam RKUHP. Menurutnya tenaga kesehatan dan para pihak yang bersinggungan dengan dunia kesehatan tidak perlu kawatir atas kemunculan RKUHP, karena yang berlaku adalah UU Kesehatan.
“Sebetulnya secara hukum, kita sudah kuat. Saya tidak khawatir dengan keluarnya KUHP yang baru, itu lex generalis. Jadi sesudah ada lex specialis seharusnya digunakan ada lex specialis“, ungkap Dr. Nurdadi mantan Ketua Umum POGI ini.
Hal tersebut dibantah oleh Husna, Pengacara Publik LBH Apik. Menurutnya, walau UU Kesehatan merupakan lex specialis namun dalam implementasinya penggunaannya hanya sebatas administratif saja.
“Di tahun ini kami menangani 3 korban perkosaan, tidak satupun menggunakan UU Kesehatan. Asas lex specialis UU Kesehatan itu tidak pernah bisa dipakai baik untuk penyidikan maupun pertimbangan hakim”, jelas Husna, staf pelayanan LBH Apik ini.
Melihat kenyataan di lapangan tersebut, bukan tidak mungkin dengan disahkannya RKUHP akan berdampak pula pada peraturan turunan di bawahnya. Zumrotin dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengungkapkan bahwa peraturan sehubungan dengan aborsi selalu mengaitkan antara keselamatan perempuan dengan dosa. Padahal, menurutnya kemanusiaan juga harus diutamakan.
“Ini masalah kemanusiaan. Kita jangan melihat zina atau dosa. Kita sibuk dengan dosa, zina, tapi kita tidak pernah membicarakan tentang kemanusiaan, tentang hak asasi perempuan. Saatnya kita berbicara tentang asasinya perempuan”, ungkap Zumrotin yang juga ikut dalam advokasi meloloskan UU Kesehatan.
Setuju dengan Zumrotin, Dr. Ari yang merupakan Ketua dari POGI mengungkapkan pentingnya penunjukan klinik oleh Kemenkes untuk perempuan hamil dengan indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan. Menurutnya narasi sebaiknya sudah pada urgensitas negara tidak lagi pada doktrinasi dosa.
“Semua kan didoktrin dengan masalah dosa. Padahal, kita membiarkan korban itu sehabis diperkosa atau meninggal, itu dosa lagi. Kematian post-abortion itu menjadi salah satu penyebab dari kematian ibu dan diperlukan layanan yang aman untuk mencegah semua itu terjadi”.
Penulis: Riska Carolina