Soroti Problematika KB, GKIA Ajak Media Bahas Perencanaan Keluarga
26 October 2017
Perkawinan Anak Meningkat, Goal 5 SDGs Indonesia terkait Penghapusan Perkawinan Anak Indonesia di 2030 Terancam Gagal
6 November 2017
Show all

Apa Saja Hak-Hak Korban dalam RUU PKS?

change.org

Catahu 2017 Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa kekerasan pada ranah personal tertinggi terjadi melalui kekerasan fisik 42 persen, kekerasan seksual 34 persen, kekerasan psikis 14 persen, dan sisanya kekerasan ekonomi. Kekerasan seksual dalam konteks Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perkosaan menempati posisi tertinggi dengan 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebayak 1.266 kasus. Perkosaan dalam perkawinan juga banyak terjadi dengan 135 kasus.

Meskipun Negara sudah menyatakan kondisi darurat kekerasan seksual 5 tahun lalu, namun nyatanya jumlah kasus kekerasan seksual masih meningkat setiap tahunnya. Hingga saat ini belum adanya kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban secara komprehensif.

Pengertian hak korban dijelaskan dalam pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yaitu hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat dan sejahtera, yang  berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif.

RUU PKS menuntut Negara menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban berupa penetapan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga yang terintegrasi dalam pengelolaan internal lembaga negara terkait. Negara juga berkewajiban untuk mengalokasikan biaya pemenuhan hak-hak korban dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional dan daerah. Selain itu, Negara juga berkewajiban menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat dan korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan hak-hak korban.

Hak Atas Penanganan

RUU PKS mencantumkan adanya pendampingan psikis, hukum, ekonomi dan sosial. Hak korban atas penanganan diatur dalam pasal 24  ayat(1), (2) dan (3) yang meliputi hak-hak atas informasi, mendapatkan dokumen penanganan, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta hak mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban. Pasal 24 juga mengatur penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis dan surat keterangan psikiater; juga pemantauan secara berkala terhadap kondisi korban.

Hak Atas Perlindungan

Korban berhak mendapatkan perlindungan dalam berbagai ruang lingkup – pasal 25 poin (a) sampai (g) – juga dalam keadaan tertentu berhak untuk dilindungi oleh penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban – pasal 26. Keadaan tertentu yang dimaksud yaitu bila korban mendapatkan ancaman, terlapor, tersangka melanggar perintah larangan, dan tersangka atau terdakwa melakukan kekerasan yang sama/lainnya pada korban. Hak-hak perlindungan korban di antaranya berupa penyediaan akses informasi penyediaan perlindungan, perlindungan dari ancaman kekerasan dan berulangnya kekerasan, perlindungan terhadap kerahasiaan identitas. Selain itu, RUU ini juga melindungi korban dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang seringkali merendahkan dan menguatkan stigma terhadap korban.

Hak Atas Pemulihan

Hak atas pemulihan diatur dalam 6 (enam) pasal yakni pasal 27 hingga pasal 32 yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya serta restitusi. Pemulihan dilakukan sebelum, selama dan setelah proses peradilan. Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan terdiri dari 12 bentuk, di antaranya penyediaan layanan kesehatan pemulihan fisik, penguatan psikologis korban secara berkala, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, pendampingan hukum. Pemulihan setelah proses peradilan meliputi 9 bentuk, di antaranya pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan, pemantauan dan pemberian dukungan lanjutan terhadap keluarga korban, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban, pendampingan penggunaan restitusi. Pengawasan dan penyelenggaraan pemulihan diatur dalam pasal 32 ayat (1) yakni oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial.