Kerentanan Berbasis Gender pada Situasi Bencana
26 April 2018
Maternitas, Hak yang Sering Diabaikan Pemberi Kerja
20 May 2018
Show all

Minoritas Seksual dan Bencana Alam: Mereka yang Kerap Luput dari Pandangan Kita

Oleh: Arief Rahadian

 

Jalannya tertatih, terlunta-lunta. Wajahnya lusuh, sorot matanya padam. Tak terasa satu jam lamanya ia telah berjalan. “Ke manakah aku harus pergi untuk berlindung?” gumamnya. Asap hitam membumbung tinggi di balik punggungnya dan punggung ratusan, bahkan ribuan orang lain yang berjalan bersama dirinya. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benaknya, “Yanti, ya, Yanti! ia sahabatku di komunitas; rumahnya aman, dan lingkungannya kondusif. Aku akan ke sana, aku akan ke sana!”

Seketika ia berbelok, mengambil rute yang berbeda dengan orang-orang lainnya. “Sebagai yang liyan, sudah sewajarnya aku bernaung di tempat yang liyan pula,” pikirnya. Langkahnya semakin tegas, sorot matanya yang padam mulai menyala redup. Namanya Rina, seorang transgender. Rina memilih untuk pergi ke rumah sahabatnya, alih-alih ke tempat pengungsian; ketika bencana erupsi Gunung Merapi terjadi di Sleman, delapan tahun silam.

Dari Bencana yang Satu, ke Bencana yang Lain

Bagi kawan-kawan minoritas seksual – khususnya transgender – kondisi bencana merupakan awal dari penderitaan berlapis: mulai dari diskriminasi di tempat pengungsian, kesulitan meminta pertolongan pada keluarga, hingga keterbatasan layanan kesehatan. Pilihan untuk berlindung di tempat pengungsian misalnya, kerap dianggap sebagai pilihan yang kurang akomodatif bagi kawan-kawan transgender.

Fasilitas publik di tempat pengungsian seperti toilet dan ruang tidur hanya mengakomodasi dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, paket bantuan yang disediakan juga hanya mengakomodir dua jenis kelamin: kit laki-laki, atau kit perempuan. Ketidaksensitivan gender inilah yang kemudian menjadi masalah.

Masalah lain muncul ketika kawan-kawan transgender mengalami penolakan berganda. Mereka kerap ditolak ketika hendak berlindung di bilik perempuan, karena jenis kelamin mereka dianggap bukan perempuan. Lebih lanjut, ketika mereka memilih untuk tinggal di bilik laki-laki, mereka kerap menerima pelecehan dan perbuatan tidak menyenangkan (Fajarwati dalam Sucahyo, 2018).

Kawan-kawan minoritas seksual juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan pilihan untuk menghubungi keluarga mereka. Banyak dari mereka yang memilih untuk tinggal sendiri; baik karena pilihan, maupun karena sikap pihak keluarga yang tidak mendukung. Bagi kawan-kawan yang berkonflik dengan keluarganya, kondisi bencana menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan. Akses mereka terhadap dukungan sosial dari pihak keluarga terputus (Fajarwati dalam Sucahyo, 2018).

Kedua alasan di atas – tempat pengungsian yang tidak ramah, dan putusnya kontak dengan keluarga – mendorong kawan-kawan transgender, maupun kelompok minoritas seksual lain untuk mengungsi ke rumah kawan, alih-alih pergi ke tempat pengungsian atau kembali ke rumah keluarga, ketika dihadapkan dengan situasi bencana.

Tidak hanya itu, keterbatasan layanan kesehatan juga turut menghantui kawan-kawan minoritas seksual, khususnya teman-teman yang memiliki kebutuhan khusus. Kawan-kawan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) misalnya, membutuhkan Antiretroviral Treatment (ARV) untuk mencegah aktifnya virus HIV dalam tubuh mereka. Kawan-kawan transgender yang sedang menjalani terapi hormon juga tentu membutuhkan akses terhadap obat-obatan tertentu (The Montrose Center, n.d). Putusnya proses pengobatan yang sedang mereka jalani dapat berimplikasi secara medis, maupun psikologis.

Manajemen Bencana dan Pengarusutamaan Gender (PUG)

Uraian di atas agaknya menegaskan pentingnya proses pengarusutamaan gender (PUG) dalam manajemen bencana. Strategi PUG sendiri fokus pada pengintegrasian kebutuhan, kepentingan, serta aspirasi kelompok gender manapun, dalam seluruh tahapan pembangunan; mulai dari desain kebijakan, implementasi, monitoring, dan evaluasi (European Parliament, 2015).

Berangkat dari semangat tersebut, harusnya proses manajemen bencana – mulai dari penyediaan fasilitas di tempat penungungsian hingga pemberian bantuan sandang – harusnya turut memperhatikan kebutuhan, kepentingan, serta aspirasi kelompok minoritas seksual. Namun pada kenyataannya, hal tersebut belum dapat direalisasikan.

Apa yang kemudian perlu dilakukan untuk menanggulangi permasalahan ini adalah program-program penguatan kapasitas, yang menargetkan kelompok minoritas seksual. Komunitas-komunitas minoritas seksual diberi pelatihan, dan diharapkan untuk memberi dukungan bagi kelompok mereka sendiri ketika bencana terjadi (Alia dalam Sucahyo, 2018). Bukan hanya itu, masyarakat di sekitar juga perlu diberikan peningkatan pemahaman dan penguatan kapasitas terkait PUG dalam penanganan bencana.

Lebih dari itu, Negara harus hadir untuk menjamin hak-hak kelompok minoritas seksual dalam situasi bencana.

 

Referensi:

Sucahyo, Nurhadi. 2018. Waria dan Posisinya dalam Penanganan Korban Bencana. VOA Indonesia. Diakses pada tanggal 11 Mei 2018 di: https://www.voaindonesia.com/a/waria-dan-posisinya-dalam-penanganan-korban-bencana/4244466.html

European Parliament. 2015. Diakses pada tanggal 11 Mei 2018 dari: http://www.europarl.europa.eu/sides/getAllAnswers.do?reference=E-2014-010447&language=EN

The Montrose Center. n.d. Why the LGBTQ Community Needs Extra Help After Natural Disasters Like Hurricane Harvey. Diakses pada tanggal 11 Mei 2018 dari: http://www.montrosecenter.org/hub/lgbtq-community-needs-extra-help-natural-disasters-like-hurricane-harvey/