Pada tanggal 15 Juli 2019, PKBI mengikuti seminar bertajuk Percepatan Pembahasan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang digagas oleh Koalisi Perempuan Indonesia dan bertempat di Balai Kartini, Jakarta. Dalam seminar ini hadir beberapa perwakilan dari pemerintahan dan fraksi di DPR seperti Ibu Lenny N. Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Anggota DPR RI Komisi VIII, dan H. Muhammad Adib Machrus, Kasubdit Pemberdayaan KUA Kementerian Agama.
Dalam pemaparannya, Ibu Lenny mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara ketujuh di dunia dan kedua di ASEAN yang angka perkawinan anaknya begitu tinggi. Berdasarkan Data BPS di tahun 2018, 1 dari 9 perempuan (11%) usia 20-24 tahun sudah pernah menikah sebelum umur 18 tahun. Sulawesi dan Kalimantan adalah provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang paling tinggi. Perkawinan anak paling banyak terjadi di perdesaan, karena ada anggapan bahwa anak perempuan yang dikawinkan bisa membantu orang tuanya dari segi finansial.
Ibu Lenny juga memaparkan dampak buruk dari perkawinan anak mulai dari segi kesehatan, pendidikan, hingga sosial. Dampak buruk perkawinan anak dari segi kesehatan di antaranya tingkat kematian ibu yang tinggi dan terjadinya stunting pada bayi yang dilahirkan. Dari segi pendidikan, dampak buruk perkawinan anak adalah tingginya angka putus sekolah pada anak perempuan yang dikawinkan. Sedangkan dari segi sosial, anak yang dilahirkan dari perkawinan anak sering kali tidak memiliki akte kelahiran sehingga nantinya akan rentan menjadi korban perdagangan anak. “Anak-anak ini perlu kita selamatkan, dalam artian, paling tidak mereka harus lulus SMA dulu sebelum mereka dikawinkan,” tutur Ibu Lenny.
Ibu Rahayu Saraswati sebagai Anggota Komisi VIII DPR memaparkan bahwa Badan Legislasi DPR sedang memperjuangkan agar semua usaha terkait perkawinan anak bisa selesai di peiode ini atau mungkin tidak perlu ulang dari awal di periode berikutnya. Perlu diketahui bahwa masa jabatan DPR sebentar lagi akan habis di tahun ini dan ada kekhawatiran bahwa perjuangan pendewasaan usia perkawinan (PUP) anak akan ditangguhkan sampai periode berikutnya. Dikhawatirkan juga bahwa meskipun ada PUP, anak masih dapat dikawinkan apabila ada izin dari orang tuanya. “Salah satu cara untuk menghentikan menghentikan perkawinan anak adalah dengan pendidikan kesehatan reproduksi,” ujar Ibu Sara.
Permasalahan lain yang terkait adalah kecilnya anggaran dari pemerintah yang diterima Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dibandingkan Kementerian Sosial di tahun 2020. “Kementerian PPPA adalah satu-satunya kementerian yang punya nomenklatur perlindungan anak. Kalau pemerintah tidak serius menangani perkawinan anak, untuk apa kementerian ini ada?”
Bapak Adib Machrus selaku Kasubdit Pemberdayaan KUA Kementerian Agama mempermasalahkan bahwa institusi perkawinan saat ini telah banyak disalahgunakan. Penyalahgunaan yang jamak ditemukan di antaranya poligami terselubung dan perkawinan anak. Perkawinan anak terjadi karena orang tua takut anaknya berzina ketika sering bergaul dengan lawan jenis. Bapak Adib juga mempersoalkan lemahnya UU Perkawinan yang dianggap tidak memiliki pidana jelas sehingga harus menggunakan undang-undang lain untuk penerapan pidana.
Oleh: Deltani Nuzuli