Pekan Tengah Diskusi (Pekad) yang yang digagas oleh Koalisi PEKAD dalam Rangka International Day Againts Homophonbia, Transphobia & Biphobia, pada 13 Mei 2020, memusatkan perhatian pada Pasal Cabul (420) di RKUHP. Pasal ini kembali mendiskriminasi, setelah perubahan draft RKUHP pada september 2019. Ada pembedaan frasa sesama dan beda jenis pada tindak pidana pencabulan. Penegasan perbedaan ini dapat meningkatkan stigma terhadap kelompok LGBT. Pekad kali ini, mengundang: Bivitri Susanti, SH. LL.M., ahli Hukum Tata Negara, untuk melihat potensi dampak pembedaan pada pasal pencabulan sehubungan dengan penegakan hukum di Indonesia; Ryan Korbarri, Ketua Badan Pengurus Harian Arus Pelangi, berbicara mengenai potensi kriminalisasi dan pelanggaran HAM LGBT di Indonesia; dan Yasmin Purba, Steering Comitee Koalisi CRM (Crisis Respon Mechanism), sebagai moderator diskusi.
Bivitri Susanti menjabarkan permasalahan yang muncul dengan adanya pembedaan frasa sama ataupun beda jenis kelamin di dalam pasal ini. Menurutnya RKUHP masih menemui kendala dalam interpretasi tiap-tiap pasalnya yang berpotensi berdampak pada kelompok minoritas gender dan seksual. Belum lagi, pasal-pasal di dalam RKUHP dinilai berulang. Hal itu dapat menyulitkan penegakan hukum di Indonesia dikarenakan antara pasal yang satu dengan yang lain conflict of norm (bertentangan). Contohnya pasal 412 tentang pelanggaran kesusilaan secara luas, yang juga menggunakan unsur di muka umum. Sedangkan pada pasal 420 tentang pasal cabul, juga memuat hal yang sama. Pada pasal penjelasan antara pasal 412 & 420 memiliki perbedaan walaupun sama-sama mengatur tentang kesusilaan di muka umum.
“permasalahan pada pasal ini (pasal pencabulan) fokusnya pada frasa beda atau sama jenis kelamin-nya, pembedaan itu yang bisa menjalar pada persekusi. Selain itu juga setiap definisi juga harus dijelaskan di undang-undang, RKUHP bisa jadi kesalahan besar jika ada pengaturan yang berulang dan belum jelas unsur dan batasannya” Jelas Dosen STIH Jentera ini.
Ryan Korbarri juga menambahkan, menurutnya semua pasal di ranah kesusilaan sudah sesat pikir, sehingga memberi celah tafsir yang sesuai kemauannya sendiri. Hal ini tentunya akan menguatkan stigma dan melahirkan kekerasan dan diskriminasi kepada kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia. Padahal menurut Catatan Kelam: 12 Tahun LGBT di Indonesia, penelitian Arus Pelangi di 9 Provinsi dengan 13 organisasi, mengungkapkan bahwa setiap tahunnya ujaran kebencian, diskriminasi dan kekerasan terus bertambah. Arus Pelangi dan Koalisi Pekad meyakini bahwa kemalangan yang terjadi kepada minoritas gender dan seksual merupakan persekusi yang telah mengarah pada Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Oleh karena itu, Ryan tetap mendorong pembuat kebijakan untuk mengedepankan HAM dalam rumusan kebijakannya.
“semua orang punya hak yang sama, termasuk LGBT. Jika RKUHP dengan pasal ini masih belum ada revisi, ini mengerikan! kami butuh bantuan semua orang untuk menghentikan ini. Kami setuju siapapun yang melakukan tindak pidana pencabulan dihukum, namun dalam rumusannya, tolonglah jangan mendiskriminasi”, paparnya.
Pada minggu sebelumnya, pada 8 Mei 2020 Kasus Ferdian Paleka menggelitik kemanusiaan masyarakat Indonesia. Ketika dus mie instan diisi sampah dan diberikan kepada transpuan sebagai sembako. Nalar dan kemanusiaan jugalah yang dibutuhkan dalam perumusan RKUHP. Agar tercapai hukum pidana yang tidak bias ataupun mendiskriminasi kelompok tertentu.
“Tidak benar itu wacana pernikahan sesama jenis, kami hanya ingin tenang tanpa diskriminasi, pulang dengan utuh”, Lanjut Ryan.
—-
Penulis: Riska Carolina