Liputan Media: PKBI Edukasi Sejak Dini Reproduksi Sehat, Hidup Terencana dan Berkualitas
4 July 2019
Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual
8 July 2019
Show all

RUU PKS bagi Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Pelantikan anggota legislatif terpilih untuk periode 2019-2024 akan dilakukan pada bulan Oktober mendatang. Menjelang pergantian periode, DPR didesak untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah diusulkan sejak 2015. Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) melakukan upaya-upaya advokasi dan kampanye untuk memperjuangkan pengesahan RUU PKS dengan batas waktu sampai bulan September, mengingat proses pembahasan RUU PKS akan kembali ke titik awal apabila sempat terjadi pergantian legislatif.

 

RUU PKS memiliki tujuan yakni mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual (termasuk rehabilitasi), memulihkan korban dan meletakkan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan seksual tanpa kecuali, termasuk terhadap anak.

 

Anak merupakan bagian dari kelompok rentan yang menjadi fokus dalam pembuatan RUU PKS. Kekerasan seksual yang dialami anak akan menimbulkan dampak pada relasi yang ia bangun dengan orang dewasa. Olin Monteiro dari JKP3 dalam acara diskusi ‘Mengkaji RUU PKS Menurut Perspektif Anak’ yang diadakan Rumah Faye, Kamis (27/6) menjelaskan lebih lanjut bahwa ada pengkhianatan atau betrayal yang membuat kesulitan membangun kepercayaan anak pada orang dewasa di sekelilingnya. Selain itu, anak dihantui rasa takut dan malu karena ia memiliki gambaran yang buruk akan dirinya sendiri. Padahal, setiap warga negara, termasuk anak, mempunyai hak untuk bebas dari rasa takut, diskriminasi, dan penyiksaan.

 

Identifikasi masalah dalam penyelesaian kekerasan seksual pada anak mengarah pada suatu konsep negatif bahwa hak anak dikembalikan pada keluarga, alih-alih menjadi tanggung jawab negara. Masalahnya, tidak jarang ditemukan kasus anggota keluarga sendirilah yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Penting untuk membangun kesadaran betapa rentannya anak sekalipun ia berada dalam unit terdekatnya dan menjamin perlindungan hukum yang menyeluruh.

 

Benar bahwa UU Perlindungan Anak memiliki pasal-pasal terkait kekerasan seksual. Nyatanya, undang-undang yang ada tidak mampu melindungi anak dari kekerasan seksual secara komprehensif. RUU PKS mengenal 9 tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sementara itu, dalam UU Perlindungan Anak hanya disebutkan persetubuhan, pencabulan, dan eksploitasi seksual yang bisa dikenakan pidana. Berdasarkan prinsip lex posterior derogat legi priori—hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama—RUU PKS akan melengkapi bentuk kekerasan seksual yang belum diatur dalam UU Perlindungan Anak.

 

Perkawinan anak adalah isu global yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Praktik perkawinan anak merenggut hak anak dan seringkali dilakukan berdasarkan keputusan orang tua atau keluarga. Dalam booklet RUU PKS vol. 1-3, dijelaskan bahwa UU Perlindungan Anak hanya menetapkan kewajiban orang tua untuk mencegah perkawinan anak, tetapi tidak mengatur ancaman pidana apabila orang tua tidak mencegah dan apabila orang tua melakukan pemaksaan perkawinan anak. Maka, partisipasi orang tua menjadi hasil yang diharapkan dari pengesahan rancangan undang-undang. Di samping partisipasi orang tua, RUU PKS juga mengangkat poin pemulihan korban.

 

Dukungan masyarakat sipil akan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan sangat berarti bagi perlindungan korban. Sudah saatnya negara dan warga negara mewujudkan kepedulian terhadap penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.