Minoritas Seksual dan Bencana Alam: Mereka yang Kerap Luput dari Pandangan Kita
14 May 2018
Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR)
27 May 2018
Show all

Maternitas, Hak yang Sering Diabaikan Pemberi Kerja

Oleh: Ryan A. Syakur

Revolusi industri di Inggris membawa angin segar bagi kelompok perempuan. Ruang gerak kelompok perempuan yang awalnya hanya mencakup ranah domestik (rumah tangga) diperluas. Melalui revolusi industri, perempuan dapat turut aktif di sektor publik, lewat partisipasi mereka sebagai tenaga kerja di industri manufaktur atau pabrik. Di sektor inilah, perempuan tercatat dalam sejarah perkembangan industri karena perannya sebagai tenaga kerja.

Dalam perkembanganya, para pemilik modal di sektor industri memiliki kecenderungan untuk merekrut buruh perempuan. Namun demikian, bukan berarti kondisi ini menguntungkan bagi perempuan. Dari sudut pandang pemilik modal, perempuan yang bekerja di pabrik lebih mudah diatur, tidak melawan jika diintimidasi, dapat dibayar dengan upah rendah, atau bahkan hanya dibayar dengan ucapan terima kasih. Pandangan yang diskriminatif ini jelas sekali kian merendahkan posisi tawar perempuan terhadap pemilik modal terkait dengan relasi kerja.

Pada relasi kuasa antara perusahaan/pabrik dengan buruh perempuan yang timpang ini, perempuan ditempatkan sebagai robot industri yang diperintahkan bekerja sebanyak-banyaknya dengan upah sesedikit mungkin, untuk kemakmuran pemilik modal. Dengan demikian, derajat kemanusiaan perempuan diturunkan serendah-rendahnya. Sebagai dampaknya, perusahaan/pabrik cenderung abai terhadap hak-hak buruh perempuan; terutama hak-hak maternitas. Pengabaian terhadap hak maternitas perempuan ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Berada dalam kondisi sub-dominan dalam industri perlahan menimbulkan kesadaran dalam diri buruh perempuan untuk berjuang dalam upaya pemenuhan hak-haknya. Kesadaran tersebut semakin membara seiring fakta bahwa hak kesehatan seksual dan reproduksi yang melekat padanya (hak maternitas) –  hak untuk hamil, melahirkan, dan menyusui – seringkali diabaikan oleh pemberi kerja. Padahal, seharusnya perusahaan sebagai pemberi kerja memberikan perlindungan untuk pemenuhan peran maternitas yang hanya melekat pada perempuan ini.

Hak Maternitas dalam Kebijakan

Hak maternitas, menurut Konvensi ILO (International Labour Organization) 183 tentang Perlindungan Maternitas, adalah hak seluruh pekerja perempuan – baik dengan status kerja tetap atau tidak; dan menikah ataupun tidak menikah – terkait perlindungan kesehatan perempuan hamil dan menyusui, seperti: cuti melahirkan; cuti sakit atau komplikasi risiko dari kehamilan dan kelahiran; hak istirahat untuk menyusui; tidak mendapatkan pemutusan hubungan kerja saat cuti.

Fokus utama perlindungan hak maternitas perempuan pekerja secara garis besar terletak pada dua hal, yaitu: (1) perlindungan kesehatan ibu dan anak, dan (2) tersedianya kesempatan dan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi, sehingga pekerja perempuan mampu mempertahankan upah dan mendapatkan penghasilan selama menjalankan peran maternitasnya (ILO, 2012; Perempuan Mahardhika, 2017).

Perlindungan hak maternitas perempuan pekerja sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan; pasal 5 dan 6, pasal 76, pasal 82, pasal 83, pasal 84, pasal 93, dan pasal 153. Secara keseluruhan, pasal-pasal tersebut mengatur tentang perlindungan dari diskriminasi; cuti melahirkan; hak menyusui; melahirkan atau keguguran; dan larangan pemutusan hubungan kerja saat cuti. Namun, masalah klasik yang masih terus terjadi di negeri ini ketika sudah adanya peraturan adalah masih banyak perusahaan yang mengabaikan hak maternitas pekerja perempuan.

Pelanggaran tak Kunjung Usai

Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih, seperti dikutip dari voaindonesia.com (2013) mengatakan, banyak perusahaan yang memberhentikan pekerja perempuan yang hamil dengan alasan yang tidak logis, yakni tidak ingin menanggung biaya persalinan. Praktik pelanggaran semacam ini bila terus dilanggengkan akan berpotensi semakin menebalkan tembok diskriminasi, yang pada akhirnya mengancam nyawa buruh perempuan.

Kasus-kasus miris terkait pelanggaran hak maternitas pun kian banyak terjadi. Tak ayal, nyawa buruh perempuan yang jadi taruhannya. Buruh perempuan di Cikupa, Tangerang meninggal di pabrik saat melahirkan karena tidak mendapatkan fasilitas bersalin (sindonews.com, 2015). Pada tahun 2012, terjadi kasus kematian bayi dari buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan di daerah Serang, Banten. Buruh perempuan tersebut diduga kelelahan bekerja karena harus berdiri secara terus menerus sepanjang jam kerja (koranperdjoeangan.com, 2016).

Kasus lainnya, selama kontrak berlangsung buruh perempuan dilarang menikah ataupun hamil. Penelitian Perempuan Mahardhika tentang Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas Buruh Garmen di KBN Cakung pada tahun 2017 menemukan fakta sebanyak 50% buruh garmen perempuan merasa takut saat hamil. Oleh karena itu, banyak buruh perempuan yang menyembunyikan kehamilannya. Ketakutan ini didasarkan pada kemungkinan hilangnya kesempatan perpanjangan kontrak dan kehilangan hak atas uang menstruasi (haid) yang diterima setiap bulannya.

Selain itu, hak buruh perempuan terkait cuti melahirkan juga masih diingkari. Dalam UU Ketenagakerjaan sudah diatur bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saat melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, menurut perhitungan dokter kandungan – Pasal 82 UU Ketenagakerjaan. Namun praktiknya, ketika buruh perempuan baru menjalani cuti melahirkan dua minggu, karena keguguran diminta pihak manajemen untuk kembali bekerja. Perusahaan mencabut hak cuti melahirkan buruh tersebut (Independen.id, 2017).

Pasca cuti melahirkan, buruh perempuan juga belum bisa nyaman menjalankan peran maternitas di tempat kerjanya. Buruh perempuan tidak diberi ruang dan waktu untuk menyusui dan mengasuh anaknya. Perusahaan masih belum semuanya menyediakan ruang laktasi; seperti misalnya di KBN Cakung. Jika pun tersedia, tingginya target pekerjaan lah yang menjadikan buruh perempuan pasca melahirkan memilih untuk tidak mengakses ruang laktasi. Akhirnya, anak yang baru lahir tersebut dititipkan kepada orang tua sang ibu di daerah asal, sementara sang ibu kembali bekerja sepenuhnya.

Mencermati kondisi tersebut, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) selalu mendukung segala upaya advokasi untuk pemenuhan hak maternitas buruh perempuan yang dilakukan oleh kawan-kawan organisasi dan jaringan buruh perempuan. Dalam proses berjejaring dengan Perempuan Mahardhika dan Posko Pembelaan Buruh Perempuan, pada tahun 2018 ini PKBI – dr. Novandra dari PKBI DKI Jakarta – menjadi narasumber diskusi yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika dan Posko Pembelaan Buruh Perempuan tentang “Buruh Perempuan dan Ancaman Kanker Serviks” pada (20/2) dan “Kesehatan Saat Hamil” pada (27/3) di depan Posko Pembelaan Buruh Perempuan, kawasan KBN Cakung.

Rencana ke depan, PKBI akan semakin menjalin erat kerja sama strategis dengan Perempuan Mahardhika dalam pemenuhan hak-hak maternitas buruh perempuan dan penguatan gerakan perempuan muda dalam penghapusan kekerasan seksual dan intoleransi.

 

Referensi:

Perempuan Mahardhika. 2017. Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas pada Buruh Garmen, Kajian Kekerasan Berbasis Gender di KBN Cakung.

Voaindonesia.com. 2013. Aktivis: Stop Diskriminasi Buruh Perempuan. Diakses melalui: https://www.voaindonesia.com/a/aktivis-stop-diskriminasi-buruh-perempuan-/1776974.html

Sindonews.com. 2015. Dapat Diskriminasi, Ini Kisah Buruh Hamil Meninggal di Pabrik. Diakses melalui: https://metro.sindonews.com/read/1051065/170/dapat-diskriminasi-ini-kisah-buruh-hamil-meninggal-di-pabrik-1444198953

Koranperdjoeangan.com. 2016. Jangan Sandera Hak dan Kepentingan Buruh Perempuan. Diakses melalui: https://www.koranperdjoeangan.com/jangan-sandera-hak-dan-kepentingan-buruh-perempuan/

Independen.id. 2017. Menyoal Hak Maternitas Perempuan di Tempat Kerja. Diakses melalui: http://independen.id/read/data/426/menyoal-hak-maternitas-perempuan-di-tempat-kerja/