JURNALPEREMPUAN.ORG, Jakarta – Pada Rabu (17/7), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Restorative Justicedalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”.
Sesi pertama diskusi ini dimulai pukul 10 pagi dengan tema “Menyiapkan Ruang Keadilan bagi Korban Kejahatan dengan Paradigma Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”, dengan pembicara Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Tim Perumus RKUHP), H. Arsul Sani, S.H., M.Si. (Anggota Panja RKUHP), Prahesti Pandanwangi, S.H., Sp.N, LL.M. (Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas), Dr. Rocky Marbun S.H., M.H. (Akademisi Universitas Pancasila), dan Zainal Abidin, S.H., M.Law&Dev. (Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP). Diskusi yang dipandu oleh Dr. iur. Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta) ini diawali dengan keynote speech dari Mardjono Reksodiputro yang menyampaikan makalah pengarah berjudul “Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”.
Dalam sambutan kuncinya, Mardjono melontarkan pertanyaan tentang; apa itu restorative justice atau keadilan restoratif? Ia melanjutkan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Menurutnya, keadilan restoratif penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Lebih jauh, Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif ini penting untuk menjadi salah satu unsur dalam pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat. Salah satu Tim Perumus RKUHP ini menekankan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia belum spesifik memperhitungkan suara, pengalaman dan perspektif korban. “Padahal, kerugian yang dialami korban (yang bisa berujung pada ganti rugi) dan unsur ‘pemaafan’ dari korban adalah dua hal yang harus diperhitungkan dalam proses perkara,” ujarnya.
Di lain sisi, proses perumusan RKHUP itu sendiri sudah berjalan sejak lama dari 1945. Saat ini, proses pembahasan RKUHP sudah memasuki tahap akhir. DPR dan Pemerintah menargetkan pembahasan RKUHP sekaligus pengesahannya tuntas pada pertengahan Juli 2019. Arsul Sani mengungkapkan bahwa RKUHP telah mengadopsi pendekatan keadilan restoratif. RKUHP telah mengatur tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan pertimbangan yang diwajibkan dalam pemidanaan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, dan juga menghapus pidana mati dari pidana pokok.
Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana ini pun menjadi salah satu agenda dalam RPJMN 2020–2024. “Perbaikan peradilan pidana dengan keadilan restoratif menjadi salah satu agenda kami,” ujar Prahesti Pandanwangi. Urgensi itu semakin menyeruak setelah Prahesti dan tim melihat Lembaga Pemasyarakatan yang terlampau penuh (over-crowded), yang justru menurutnya tak lagi relevan karena lebih mengarah pada “penjagaan”, bukan pemidanaan.
Mengenai peran korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Rocky Marbun, meminjam istilah Heidegger untuk menggambarkan kondisi peradilan pidana di Indonesia sebagai suatu keterlemparan (gowerfen-sein) dalam mitos modernitas. Mitos modern ini merupakan common sense tanpa kritik, yang sejak dulu sudah ada dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mitos ini sudah mengental dan memiliki kekuasaan sejak dulu. “Masyarakat saja tidak masuk dalam komponen sistem peradilan pidana, apalagi korban,” ungkapnya.
Zainal Abidin juga menambahkan soal urgensi pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut menurutnya mengubah konsep dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku. Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut berperan sebagai healing justice, yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan.
Pendekatan keadilan restoratif ini sesungguhnya sangat dekat dan erat kaitannya dengan peradilan kasus pidana anak dan perempuan. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan sebagai langkah awal menuju pemenuhan HAM anak dan perempuan. Salah satunya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. (Shera Ferrawati)
Artikel ini telah tayang di jurnalperempuan.org, dengan tautan https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-restorative-justice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia