Hentikan Transfobia Sekarang Juga!
20 November 2019
Perempuan Berhak Hidup Aman dan Bebas Kekerasan
25 November 2019
Show all

Kemanusiaan Tanpa Batas Kebangsaan

Konflik suatu negara memicu pergerakan warga negaranya mencari suaka ke negara yang lebih aman. ‘Negara ketiga’ atau third world merupakan negara yang menjadi tujuan akhir pencari suaka; yang dalam konteks para pencari suaka Indonesia adalah Australia atau Selandia Baru. Di antara kota-kota besar di Indonesia yang menampung pengungsi, Pekanbaru mengidentifikasi jumlah yang cukup besar yakni 1.082 orang (2019). Penampungan pengungsi di negara sementara difasilitasi oleh badan PBB, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Mereka diperbolehkan untuk beraktivitas dan bepergian dengan syarat, seperti membawa kartu khusus, harus melaporkan keberadaan, dan kembali maksimal jam 8 malam. Mobilitas yang terbatas mendorong pencari suaka terus mengekspresikan keinginan untuk segera menetap di negara tujuan mereka.

Tidak sedikit dari jumlah tersebut mengacu pada anak-anak usia sekolah. Menurut Dinas Pendidikan Pekanbaru, terdapat 286 anak pencari suaka yang menetap sementara di Pekanbaru (2019). Menjawab pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan, pemerintah setempat akan menyekolahkan anak-anak di sekolah negeri, tetapi dengan syarat kefasihan berbahasa Indonesia. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ambil bagian dalam pemenuhan hak pencari suaka, utamanya remaja serta pemuda dalam konteks psikososial dan kesehatan seksual dan reproduksi. Hikmah Rizky Utami (Tami) adalah remaja PKBI Riau bertugas sebagai Koordinator Program Psychological Intervention and Health Promotion for Refugees. Program ini mengantarkannya pada kesempatan untuk mengikuti program beasiswa di Amerika.

Intervensi psikologi dan kesehatan bagi pencari suaka

Tami sudah bergabung dengan PKBI dari 2009. Sebelumnya ia adalah relawan remaja PKBI yang menjadi salah satu fasilitator pelaksana Psychological Intervention and Health Promotion for Refugees mulai tahun 2017. Kini ia menjabat sebagai Koordinator Program. Bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) Pekanbaru, PKBI Riau menjangkau pencari suaka melalui rangkaian intervensinya.

Gambaran keadaan pencari suaka di atas menunjukkan adanya kebutuhan remaja yang belum dipenuhi secara maksimal: kebutuhan psikologis serta pengetahuan kesehatan, utamanya seksual dan reproduksi. Jauh dari rumah dan tanpa kepastian, tidak sedikit yang mengalami stress dan masih trauma mengingat konflik yang ada di negara asal. Maka, kekosongan inilah yang dilengkapi oleh Tami dan 3 fasilitator program dalam satu tim. Ada 9 tempat yang menjadi lokasi intervensi program, masing-masing tempat terdapat 5-12 remaja yang difasilitasi Tami dan kawan-kawannya. Rentang usia remaja yang ada di suaka 13-20 tahun, paling banyak ditemukan usia 15-16 tahun.

Pencari suaka yang ada di Pekanbaru merupakan imigran yang berasal dari Afganistan, Pakistan, Somalia, Sudan, Rohingya, dan Palestina. Meskipun ada juga pengungsi remaja yang sudah tinggal di Indonesia selama 5 tahun, mereka belum mampu memahami dan berbicara bahasa Indonesia sehingga kegiatan dilaksanakan dalam bahasa Inggris (tanpa translator). Fasilitator remaja akan mendampingi narasumber psikolog untuk memberikan materi dalam beberapa aktivitas yaitu:

  1. Sesi pemberian informasi dengan tema yang bervariasi (komunikasi, resilience, parenting, dst.)
  2. Pelatihan edukasi sebaya (peer educator) dengan tema kesehatan seksual dan reproduksi (pubertas, relationship, seks dan gender, hak asasi manusia dan hak remaja, kekerasan berbasis seksual/gender, kehamilan remaja, HIV dan AIDS)
  3. Pelatihan koseling sebaya (peer counselor training) dilakukan untuk menumbuhkan kemampuan berempati, mempertanyakan, mengklairifikasi, menghadapi masalah, ketulusan, keterampilan meringkas.
  4. Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid)
  5. Terapi dukungan kelompok (supportive group therapy)
  6. Terapi seni (art therapy)

 

 

Diskusi tentang kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hal yang tidak biasa di lingkungan pengungsi. Bahkan menurut Tami, topik ini lebih tabu bagi mereka dibandingkan remaja Indonesia. Bicara tentang menstruasi atau pubertas saja — topik kesehatan seksual dan reproduksi yang cukup aman — belum tentu remaja merasa nyaman bila perempuan dan laki-laki digabung. Maka, Tami harus membaginya menjadi kelompok-kelompok kecil. Lalu, bagaimana peran orang tua dalam diberikannya layanan psikologis bagi anak dalam situasi pengungsi? Nyatanya, orang tua justru tidak menjadi penghalang berjalannya sesi ini dan selalu membiarkan remaja untuk mengikuti kelas. Orang tua memiliki programnya sendiri di sesi yang berbeda, yaitu kelas parenting yang juga dibawakan oleh PKBI.

Dapat kesempatan meraih beasiswa

Keterlibatannya dalam intervensi pencari suaka mengantarkan Tami pada program Young Southeast Asia Leaders Initiative (YSEALI) Academic Fellowship. YSEALI adalah program pemerintah Amerika Serikat yang memperkuat pengembangan dan jaringan kepemimpinan di Asia Tenggara melalui berbagai kegiatan, salah satunya melalui pertukaran budaya. Seorang relawan PKBI Riau telah terlebih dulu terpilih menjadi penerima beasiswa, sehingga dengan bimbingan relawan inilah Tami melewati proses pendaftaran program YSEALI. Ia harus melewati tahap pembuatan video, pengisian formulir, dan wawancara. Menghadapi 2 kali kegagalan di tahun 2018 dan awal 2019, Tami tidak menyerah dan akhirnya diterima untuk mengikuti program gelombang musim gugur 2019 di Kennesaw State University.

Penerima beasiswa akan memilih fokus pada isu kritis yang diidentifikasi orang muda di Asia Tenggara, yaitu keterlibatan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, serta pertumbuhan pendidikan dan ekonomi. Menyesuaikan dengan latar belakang organisasi kemanusiaan, Tami memilih fokus isu keterlibatan masyarakat dan memperkenalkan program intervensi psikologis serta kesehatan seksual dan reproduksi bagi pencari suaka untuk dipresentasikan sebagai bahan pertukaran pembelajaran. Di sini pula ia belajar tentang bagaimana pemerintah dan organisasi masyarakat beriringan untuk menjaga keragaman, serta bagaimana mengelola project yang dijalankan oleh remaja. Pertukaran orang muda menghasilkan pertukaran informasi yang memperkaya pengetahuan tentang budaya lain di dunia.

 

 

Remaja dan pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi

Berinteraksi dan berbagi cerita dengan orang muda di belahan dunia lain semakin memperdalam motivasi untuk melakukan perubahan bagi hidup teman sebangsa. Menurut Tami, memperbaiki situasi pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi remaja perlu menjadi prioritas karena banyak remaja yang belum paham kesehatan seksual dan reproduksi, lebih lagi haknya. Remaja tidak mendapatkan informasi komprehensif, sehingga masih ditemukan ada kesalahpahaman. Mereka percaya info seputar kesehatan seksual dan reproduksi yang kebenarannya masih diragukan di Internet atau dari temannya sendiri.

Bahkan, pengetahuan tentang pubertas yang seringkali menjadi pengantar topik kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih mendalam tidak dikuasai oleh remaja.

Sebagai staf PKBI Riau, Tami tergabung dalam program pemberdayaan remaja. Meskipun relawan remaja tidak banyak, PKBI Riau melaksanakan berbagai aktivitas guna menjalankan fungsi utamanya, yaitu berjuang demi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi. Ada dua kegiatan utama: 1) memberikan informasi seputar hak kesehatan seksual dan reproduksi (pubertas, relasi dan komunikasi, seks dan gender, hak asasi manusia dan hak remaja, kekerasan berbasis seksual/gender, kehamilan remaja, HIV dan AIDS). Sasaran pemberian informasi adalah remaja di sekolah dan remaja pencari suaka (pengungsi) di Pekanbaru; dan 2) melakukan diskusi rutin per bulan mengenai topik tertentu, seperti kemampuan komunikasi, kepemimpinan, dan juga menghadapi seleksi sebuah program.

Tami percaya bahwa jika remaja memahami kesehatan seksual dan reproduksi, remaja akan lebih peduli cara menjaga dan merawat kesehatan tubuhnya agar terhindar dari infeksi menular seksual. Pendidikan akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri remaja. Tak cukup berupa pengetahuan cara merawat organ reproduksi, tetapi juga bagaimana menjaganya dari ancaman. Topik seks dan gender membuka mata remaja akan bahaya kekerasan seksual. Pendekatan berbasis hak meminimalisir kemungkinan remaja menjadi pelaku atau korban dari kekerasan.

Bergabung menjadi relawan remaja PKBI merupakan pengalaman yang berharga bagi Tami. Di samping memperkaya diri, di sinilah remaja belajar take and give demi kemanusiaan, tanpa melihat suku, ras, bahkan kebangsaan.

 

Sumber:

https://www.suara.com/news/2019/07/02/133526/ratusan-anak-imigran-di-pekanbaru-akan-ditampung-di-sekolah-negeri