Kampanye #MeToo yang digerakkan oleh sejumlah penyintas kekerasan seksual di media sosial berpengaruh besar membangun solidaritas hingga menembus batas geografis. Aksi solidaritas dimulai pada September tahun lalu, setelah aktor Alyssa Milano melalui akun twitter-nya menuliskan, “Jika semua perempuan yang telah dilecehkan atau diserang secara seksual menulis status ‘Me Too’, mungkin kita bisa menyadarkan orang-orang bahwa persoalan ini amat besar.” Dampaknya, semakin banyak perempuan yang berbagi kisah mereka, untuk kemudian mendakwa Harvey Weinstein atas pelecehan dan kekerasan seksual.
Ketika mulai dimunculkan ruang-ruang berbicara, timbullah gaung yang membangunkan para korban untuk bersuara. Aspek pergumulan kolektif dan rasa kebersamaan muncul secara serentak, memberikan penyintas ‘titik terang’ bahwa mereka tidak lagi menggeluti permasalahan ini sendirian. Solidaritas antar korban memicu gerakan perempuan di berbagai sudut dunia, misalnya Korea Selatan dengan gerakan anti spy cam dan Jepang, saat mereka menguak ketidakadilan bagi perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics).
Tentunya Indonesia tidak tinggal diam. Gerakan solidaritas melawan kekerasan seksual kian lama kian menguat. Berbagai advokasi dan kampanye dilakukan untuk mendorong Pemerintah dan DPR mewujudkan kebijakan yang berpihak pada korban kekerasan seksual, salah satunya menerbitkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS). Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan berbagai organisasi dan jaringan masyarakat sipil juga aktif mengkampanyekan pencegahan kekerasan seksual, akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi komprehensif yang ramah korban dan juga hukum yang berkeadilan. Melalui gerakan ini, perempuan mulai sadar akan hak mereka untuk jaminan atas rasa aman – rasa yang sulit didapatkan bahkan di rumah mereka sendiri.
Gerakan #MeToo menginspirasi banyak orang, termasuk Eliza Vitri Handayani yang mencetuskan House of the Unsilenced, sebuah kegiatan berkesenian yang memfasilitasi para penyintas untuk bersuara. Kegiatan ini berlokasi di Cemara 6 Galeri dari tanggal 15 Agustus sampai 2 September 2018. Seringkali, korban yang berbicara harus menghadapi risiko yang membahayakan dirinya atau bahkan sebelumnya tidak menyadari kejahatan seksual yang mereka alami. Eliza menjadikan House of the Unsilenced sebagai ruang nyaman untuk bercerita dan tempat bagi korban untuk dapat menerima dukungan yang sangat mereka butuhkan.
“Ini rumah kami. Di sini kami diterima, dipercaya, keberanian kami untuk berbagi dihargai. Di sini kami menyuarakan apa yang mesti kami sampaikan, di sini kami dapat bebas mencipta – bukan hanya karya, tetapi juga diri sendiri.” Tulisan besar yang terpampang di pintu masuk pameran House of the Unsilenced menjadi kata pengantar yang mampu memberikan garis besar arti kegiatan ini.
Pameran ini memperlihatkan hasil kolaborasi para seniman dalam range yang luas dengan penyintas kekerasan seksual. Mereka adalah Dewi Candraningrum (pengajar dan pelukis), Molly Crabapple (seniman dan penulis), Ratu Saraswati (art performer), Dyantini Adeline (pembuat film), Salima Hakim (pengajar dan seniman), Yacko (rapper), Eliza Vitri Handayani (novelis), Ika Vantiani (art curator), Ningrum Syaukat (penari), Margaret Agusta (jurnalis dan visual artist), dan Bisik Bisik Kembang Goyang (kolektif seniman perempuan). Penyintas yang ikut berpartisipasi berumur 19 sampai 53 tahun dan datang dari Jakarta, Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Bersama mereka menciptakan seni tentang pengalaman yang mereka alami sebagai bentuk ‘suara’ untuk berbicara.
Salah satu kolaborasi yang menarik untuk disimak adalah kolaborasi antara House of the Unsilenced, Molly Crabapple dan PKBI dalam karya-karya yang merepresentasikan forced pregnancy sebagai kekerasan seksual. Karya yang ditampilkan mewakili suara dari penyintas Kehamilan yang Tidak Diinginkan. PKBI mencatat ada 78.544 perempuan yang mengakses layanan konseling kehamilan yang tidak diinginkan pada periode Mei 2007 – Juni 2018 di klinik-klinik PKBI di beberapa daerah di Indonesia. Melalui kegiatan ini PKBI, House of the Unsilenced, dan Molly Crabapple mengharapkan agar masyarakat Indonesia lebih sadar akan kondisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta hak-hak mereka.
Mendengar cerita perempuan yang harus melewati masa kehamilan tanpa keinginannya sendiri sangat menggetarkan hati. Salah seorang penyintas mengaku bahwa sebagai perempuan ia mempunyai hak untuk belajar bertanggung jawab dan kebebasan untuk memilih jalan masa depannya.
“Kehamilan yang tidak diinginkan terjadi pada saya ketika saya berusia 19 tahun. Meskipun di Indonesia orang yang mengakses layanan aborsi yang aman masih distigmatisasi, keputusan yang saya ambil didasarkan karena banyaknya anak-anak terlantar di luar sana karena orang tua mereka tidak siap untuk memiliki, memberi makan dan mendidik mereka. Saya tidak ingin menjadi seperti orang tua mereka,” ujarnya.
Melalui serangkaian kegiatannya, House of the Unsilenced mengajak pengunjung pameran dan masyarakat luas untuk membuka hati tentang realita yang dihadapi oleh korban dan penyintas. Kekerasan seksual bukan hal yang hanya terjadi di layar kaca atau lembaran berita, tapi bisa saja menimpa kita, kerabat atau saudara terdekat kita.
Eliza Vitri Handayani menyampaikan bahwa kesetaraan tidak akan terwujud apabila perempuan tidak memiliki otoritas terhadap tubuh dan nasibnya sendiri. “Memaksa perempuan untuk hamil dan melahirkan di luar kehendaknya merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang ditemukan oleh Komnas Perempuan. Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak mendapat akses layanan kesehatan reproduksi dan aborsi aman biasanya dikucilkan, distigma atau dikriminalisasi. Padahal mereka adalah korban. Melalui kegiatan ini mari kita semua meluaskan empati kepada mereka semua – korban dan penyintas,” kata Eliza.
Melihat sambutan positif yang diterima, PKBI, Eliza Vitri Handayani, dan Molly Crabapple berencana untuk menyelenggarakan kegiatan serupa dalam kaitannya dengan isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.
Penulis: Dewi A. Larasati & Jessica Rachel
Penyunting: Ryan A. Syakur