PERJUANGAN SEORANG PEREMPUAN DENGAN HIV BAGI ANAKNYA
12 May 2022
Merlyn Sopjan: Kepada Keluarga, Aku Pulang
4 August 2022
Show all

Hari Anak Nasional untuk Anak yang Dipenjara

Inang Winarso– 29 Juli 2022, 19:00 WIB

PIKIRAN RAKYAT – Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tanggal 23 Juli. Secara khusus Kementrian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ikut pula merayakannya Jumat 29 Juli 2022.

Peringatan HAN untuk anak yang di penjara dipusatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Bandung. Acara tersebut didukung oleh organisasi masyarakat sipil Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melalui program Inklusi.

Puncak acara HAN bagi anak di penjara atau LPKA tahun 2022 sangat istimewa karena diikuti oleh anak-anak dari 12 LPKA. Peserta yang mengikuti secara virtual dari NTT, Kalbar, Kalteng, Sulsel, DIY, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Sumsel, Bengkulu dan Jambi. Acara dibuka secara resmi oleh Plt Kepala LPKA Bandung Indri Apriyanti.

Peserta diberi kesempatan berdialog dengan perwakilan pemerintah. Diantaranya dari Bappenas, Kemendikbud dan Dikti, Kementrian Sosial dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Anak yang sedang menjalani hukuman pidana menyambut acara HAN dengan suka cita. Karena kemampuan anak-anak ditonjolkan dalam HAN. Mulai dari mengaji, memainkan alat musik, paduan suara, pencak silat, pameran lukisan dan standup comedy.

Wajah anak-anak yang ikut acara terlihat seperti menyimpan kepedihan. Tetapi acara HAN mampu menghibur dan memberi ruang ekspresi yang leluasa bagi mereka. Biarpun hanya ditonton oleh teman-teman sendiri dan anak lainya dari 12 daerah.

Kehidupan di dalam LPKA bagaimanapun sangat berbeda dengan kehidupan remaja di luar penjara. Kebebasan anak di LPKA dibatasi oleh dinding berjeruji dan tembok berkawat berduri.

Dalam kondisi yang dibatasi itu, Ditjen Pemasyarakatan sudah berusaha memenuhi hak anak. Diantaranya yang wajib ada di LPKA adalah program keagamaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelatihan ketrampilan, olah raga, kesenian dan sebagainya. Namun tetap ada yang hilang yaitu pengasuhan dari orang tua dan interaksi dengan teman sebayanya.

Upaya untuk mengisi aspek yang hilang, pemerintah melakukan terobosan dengan mengubah paradigma pembinaan di dalam LPKA. Pendekatan yang semula berbasis pada pengawasan karena status hukum si anak. Berubah menjadi pendekatan pengasuhan. Perubahan paradigma dari pengawasan ke pengasuhan memengaruhi cara pembinaan.

Petugas di LPKA harus mampu memerankan diri layaknya orang tua asuh bagi anak-anak. Tindakan represi tidak lagi lagi diperkenankan dipraktikan dalam proses pembinaan. Apalagi dengan cara-cara kekerasan. Dengan perubahan paradigma tersebut, anak-anak mengakui adanya suasana yang lebih manusiawi.

Menghadapi anak yang berhadapan dengan hukum memang tidak mudah bagi pemerintah khususnya Ditjen Pemasyarakatan. Di satu sisi hak anak harus dipenuhi tetapi di sisi lain pembatasan diberlakukan.

Dalam situasi seperti itu, tampaknya perlu dipikirkan ulang tentang sistem pemidanaan untuk anak. Tetapi sebelum merumuskan kembali kebijakan tentang sistem penghukuman bagi anak.

Perlu dilakukan tiga kajian yang mendalam. Pertama, kajian tentang akar masalah yang menyebabkan anak-anak melanggar hukum. Kajian yang menyeluruh tersebut akan memberikan deskripsi tentang faktor-faktor yang mendorong anak melanggar hukum. Serta kondisi lingkungan seperti apa yang menstimulasi anak harus berhadapan dengan hukum.

Kedua, kajian tentang kelembagaan yang seperti apa yang seharusnya menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Bagaimana mekanisme kerja kelembagaan tersebut dan cara kerjasama lintas kelembagaan. Serta prasyarat apa saja yang harus dipenuhi oleh setiap aparatur yang akan bekerja di lembaga tersebut.

Ketiga, kajian tentang sikap masyarakat terhadap anak-anak yang melanggar hukum tersebut. Karena anak-anak itu suatu saat akan kembali ke masyarakat. Prakondisi seperti apa yang diperlukan sebelum anak-anak kembali ke masyarakat. Agar proses inklusi sosial bagi anak-anak tersebut dapat berjalan dengan mulus.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) perlu menaruh perhatian pada kajian-kajian tersebut di atas. Hasil dari kajian itu harus digunakan untuk merumuskan ulang kebijakan yang tepat dalam pemidanaan bagi anak yang melanggar hukum.

Karena yang masih di dalam penjara lebih dari seribu anak. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Jangan sampai anak-anak itu tidak memiliki ruang untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Inang Winarso adalah Ketua Wilayah Selatan Asosiasi Antropologi Indonesia dan Direktur Kemitraan Indonesia Sehat.

Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik tetapi murni merupakan opini kolumnis.

Artikel berikut disadur dari https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/pr-015136527/hari-anak-nasional-untuk-anak-yang-dipenjara