Jakarta, 19 Juli 2019 – Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyelenggarakan “Nonton Bareng” (Nobar) dan diskusi Film Dua Garis Biru di kawasan Blok M Jakarta Selatan, Jumat (19/7). Nobar dan diskusi ini menghadirkan Sutradara dan Penulis Skenario Film Dua Garis Biru Gina S. Noer, Direktur Eksekutif PKBI Pusat Eko Maryadi, Perwakilan Forum Remaja PKBI DKI Jakarta, Staf PKBI Pusat dan DKI Jakarta, relawan, rekan jurnalis, blogger dan jaringan mitra PKBI.
Bagi PKBI, film ini sangat penting sebagai ruang untuk mendiskusikan hal-hal terkait isu seksualitas yang selama ini tabu untuk dibicarakan. Misalnya soal kontrasepsi, tes kehamilan, kehamilan yang tidak diinginkan, perkawinan anak, aborsi tidak aman, hingga komunikasi orang tua dengan anak terkait isu kesehatan seksual dan reproduksi.
Ketika hal-hal tersebut tabu untuk dibicarakan, berpotensi akan menutup akses terhadap pendidikan seksualitas komprehensif. Sehingga remaja akan cenderung percaya pada mitos. Misalnya dalam film ini, berhubungan seksual sekali tidak dapat menyebabkan kehamilan.
“Padahal kenyataannya, ketika terjadi hubungan seksual yang tidak aman, berisiko mengalami kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Masalah menjadi semakin kompleks. Tekanan datang dari segala penjuru. Ini sangat membebani kondisi fisik, psikis, medis, dan sosial perempuan yang mengalami KTD,” ujar Direktur Eksekutif PKBI Eko Maryadi.
Selain itu, film ini juga membicarakan ketimpangan akses pendidikan untuk siswa perempuan dan laki-laki di sekolah. Ketika terjadi KTD, pihak sekolah mengeluarkan siswa perempuan, sedangkan laki-laki tidak. Padahal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
“Mengeluarkan siswa yang hamil dari sekolah jelas merupakan tindak diskriminatif terhadap akses pendidikan untuk semua tanpa kecuali. Apalagi berdasarkan pengalaman PKBI mendampingi siswa hamil yang dikeluarkan dari sekolah, siswa yang hamil kondisinya sangat rentan. Belum lagi stigma dari masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, ia harus menjalani proses yang tentunya tidak mudah bagi dirinya ke depan. Jika tidak mendapatkan informasi yang benar, bisa terjebak dalam lingkaran aborsi tidak aman,” tutur Eko Maryadi.
Dalam film Dua Garis Biru, Bima sempat meminta Dara untuk melakukan aborsi tidak aman dengan cara pergi ke dukun pijat. Koordinator Nasional Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PKBI Heny Widyaningrum mengatakan bahwa, “cara ini banyak ditempuh oleh pasangan, terutama perempuan yang mengalami KTD selain cara-cara lain seperti mengonsumsi jus nanas muda, jamu-jamuan, atau minum obat-obatan pelancar haid.”
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia – WHO memperlihatkan bahwa sekitar 25 juta aborsi tidak aman dilakukan setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Implikasi aborsi tidak aman di antaranya pendarahan, infeksi, dan kerusakan pada organ dalam karena alat aborsi yang tidak aman dan tidak sesuai prosedur WHO. Data Klinik PKBI (2016) menunjukkan bahwa sekitar 47,3% klien yang datang ke klinik PKBI sudah melakukan upaya aborsi tidak aman sebelum datang ke klinik.
“Penanganan KTD berbasis konseling yang aman menurut Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 3 tahun 2016 Bab III tentang penyelenggaraan pelayanan pasal 12 menyebutkan, pelayanan aborsi harus dilakukan secara aman, bermutu dan bertanggung jawab melalui bantuan dokter yang sesuai standar profesi, pelayanan, prosedur operasional atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan. Penting untuk mengedepankan prinsip tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi (komersil),” tutur Heny.
Tekankan Pentingnya Parenting dan CSE
Bagi PKBI, Film Dua Garis Biru juga menarik jika ditilik dari sudut pandang parenting dan pendidikan seksualitas komprehensif. “Film Dua Garis Biru ini menunjukkan bahwa sangat penting untuk mulai berkomunikasi soal pendidikan seksualitas komprehensif bagi anak dan remaja Indonesia. Termasuk parenting education bagi orang tua,” tutur Eko Maryadi
Sebagai informasi, pendidikan seksualitas komprehensif (CSE) adalah pendidikan seksualitas berbasis hak dengan pendekatan yang berfokus gender dan diajarkan di dalam maupun di luar sekolah. CSE sendiri terdiri dari 7 komponen yaitu : (1) Keadilan dan Kesetaraan Gender, (2) Kesehatan seksual dan reproduksi serta HIV/AIDS, (3) Hak asasi manusia serta hak reproduksi dan seksual, (4) Aspek Positif dari Seksualitas, (5) Kekerasan berbasis Gender dan Seksual, (6) Keberagaman dan (7) Relasi Antar Manusia.
Hal yang harus dipahami dari CSE adalah materi tersebut harus bersifat komprehensif, harus terpenuhi dan tidak dapat dipisahkan komponen satu dengan yang lain. Dengan pemberian CSE, setiap individu akan belajar untuk menghargai tubuhnya dan memahami pentingnya hak kesehatan seksual dan reproduksi, serta membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Tentang PKBI – www.pkbi.or.id
Berdiri sejak 23 Desember 1957, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan Keluarga Berencana di Indonesia. Lahirnya PKBI dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pendiri PKBI, yang terdiri dari sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan terhadap berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Untuk mewujudkan keluarga yang bertanggung jawab dan toleran, PKBI turut memperjuangkan pendidikan seksualitas komprehensif (CSE) dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Informasi lebih lanjut hubungi:
Ryan A. Syakur (081282292904)
Jessica Rachel (081388501252)