Komnas Perempuan mengundang PKBI dan lembaga lainnya untuk berdiskusi membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (27/6). Secara spesifik diskusi ini membahas pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Diskusi dihadiri oleh Erma Rani, anggota Komisi III DPR dan beberapa perwakilan pemerintah dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Erma Rani memaparkan hasil rapat panitia kerja (panja) RKUHP di DPR. Menurutnya, dalam rapat pembahasan RKUHP di DPR pun masih banyak perdebatan di antara anggota Panja. Salah satu pasal yang diperdebatkan adalah pasal tentang living law. Secara kontekstual, living law dapat dipahami sebagai hukum yang hidup di masyarakat. Akan tetapi, dalam penjelasan RKUHP Draft 28 Mei 2018 yang dimaksud dengan living law adalah hukum adat.
Permasalahannya, dalam KUHP sendiri ada asas legalitas di Pasal 1 yang berbunyi bahwa, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Dalam rapat Panja terakhir, belum disepakati antara polisi, pemerintah, dan fraksi terkait pengertian mana yang akan dipakai untuk living law ini,” tutur Erma.
Para peserta diskusi yang hadir juga ikut memaparkan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. PKBI terlibat aktif dalam advokasi RKUHP dan tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Advokat dan Spesialis Kebijakan Publik PKBI Riska Carolina mengatakan, salah satu pasal yang bermasalah adalah pasal perzinaan. Dalam RKUHP Draft 28 Mei 2018, pasal perzinaan atau persetubuhan di luar perkawinan yang diatur dalam Pasal 446 RKUHP masih memidanakan laki atau perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan hukuman selama 2 tahun. Delik yang diatur dalam pasal ini adalah delik aduan yang dapat diajukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
“Pasal ini dapat dijadikan alasan orang tua untuk menikahkan anaknya, terlepas dari usia anak tersebut. Pasal ini berpotensi meningkatkan angka perkawinan anak. Sekarang saja orang tua menikahkan anaknya karena faktor sosial dan ekonomi, bagaimana jika nanti RKUHP ini disahkan?” tutur Riska.
Lebih lanjut lagi, Riska menjelaskan bahwa sejak 28 Mei 2018 hingga saat ini belum ada draft pembaruan terkait RKUHP. Hal ini tentunya akan menyulitkan masyarakat sipil untuk memberikan masukan, belum lagi pemerintah dan DPR seakan terkesan buru-buru ingin mengesahkan RKUHP pada akhir masa jabatan mereka di tahun 2019.
Hal yang sama diungkapkan oleh Genoveva A.K. Sheila Maya dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Menurut Geno, mimpi dekolonialisasi dalam pembaruan hukum pidana seharusnya diamandemen secara bertahap. “Kalau RKUHP disahkan dan tidak dilakukan secara bertahap, maka untuk perubahannya perlu 30-50 tahun lagi. Jelas ini akan menyusahkan masyarakat sipil untuk melakukan judicial review nantinya.”