Teknologi informasi yang berkembang pesat memberikan pengaruh penting bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Kehadiran kelompok yang memiliki keragaman gender dan orientasi seksual tidak jarang menjadi percakapan di kolom komentar artikel media dan sosial media. Visibilitas ini menunjukkan masyarakat Indonesia telah menyadari adanya individu-individu LGBT, tetapi informasi negatif kerap menjadi cermin dari lingkungan yang enggan menerima kehadiran mereka. Perpanjangan dari stigma negatif yang membatasi gerak LGBT, salah satunya saat mencari bantuan kesehatan atau memasuki ruang publik kesehatan. Viktimisasi dan diskriminasi yang selama ini juga turut berperan dalam menyumbang tingginya masalah kesehatan mental dan tekanan psikologis termasuk diantaranya kesulitan dengan harga diri, depresi, tekanan psikososial dan psikologis, kesehatan fisik, dukungan sosial, kualitas hubungan, dan pengembangan karier.
Untuk menjawab tantangan tersebut, PKBI sebagai anggota dari Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman pada hari Sabtu, 2 Maret 2019 dengan judul “Mengenali Tidak Menilai, Memahami Tidak Mengutuk” : Diskusi Praktisi Kesehatan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi” yang diadakan di Jakarta, yang mempertemukan individu dari komunitas LGBT dengan profesional dalam bidang kesehatan. Pertemuan ini memperdengarkan cerita pengalaman personal yang individu alami ketika berhadapan dengan praktisi kesehatan serta tanggapan praktisi kesehatan terkait dan memberikan perspektif dari masing-masing individu atau lembaga. Dalam sesi terakhir, semua peserta dan fasilitator bersama-sama menentukan langkah terbaik yang akan dilakukan untuk menjawab permasalahan yang disampaikan.
Tenaga Kesehatan Kurang Sensitif terhadap Klien
Salah satu peserta diskusi adalah lelaki yang mengidentifikasi sebagai homoseksual yang mengalami serangan panik (panic attack) dan mencoba mencari bantuan pada psikiater. Ketika tahu bahwa ia homoseksual, psikiater mengajukan pertanyaan yang menurutnya tidak berkaitan dengan kondisi serangan panik, melainkan pada hal-hal yang berkaitan dengan homoseksualitas dirinya. Padahal, peserta tersebut sudah menerima dirinya sendiri dan tidak menemukan masalah pada homoseksualitasnya. Setelah dua kali gagal mendapatkan solusi dari psikiater, ia kehilangan kepercayaan pada praktisi psikiater di Indonesia.
Hilangnya kepercayaan terobati ketika pada akhirnya ia menemukan satu psikiater yang bisa menerangkan terjadinya serangan panik yang terjadi padanya.
“Dia ramah sekali, dia mendengarkan, dia bukan men-judging, dia bukan memberikan pertanyaan apa yang terjadi, hubungan saya dengan bapak, ataupun pertanyaan apakah saya diperkosa pada waktu kecil. Itu tidak dilakukan oleh dokter tersebut, tapi dia mendengarkan cerita saya, bagaimana saya mengalami kemalangan bertubi-tubi yang membuat saya malu secara sosial dan mengalami panic attack.”
Psikiater kemudian merekomendasikan psikolog yang juga ramah LGBT, sehingga ia bisa menjalani pemulihan lebih baik. Ia merasa dirinya termasuk segelintir individu yang beruntung dapat bantuan yang menghargai privasi dan tidak menyudutkan klien; belum tentu teman di luar sana menerima perhatian yang sama.
Tenaga Kesehatan Tidak Memiliki Pemahaman GSD
Pengalaman negatif ketika berhadapan dengan praktisi kesehatan juga dialami oleh seorang peserta diskusi dengan kasus yang berbeda. Ia adalah perempuan lesbian yang mengalami tekanan dari keluarga yang aktif menjadi bagian dari praktik keagamaan. Tenaga kesehatan yang ia temui menyalahgunakan latar belakang dan profesinya sebagai justifikasi untuk “menyembuhkan” yang tidak bisa disembuhkan, karena memang seksualitas bukanlah suatu penyakit. Setelah diungkap identitasnya sebagai bagian dari LGBT, keluarga kemudian melakukan berbagai upaya ekstra karena ia dianggap mengalami trauma atau cuci otak.
“Kala itu ibu saya mengawasi teman-teman saya, mereka akan dikontak secara berkala untuk mengetahui kondisi saya. Mereka merasa diteror. Suatu ketika, ada yang membocorkan lokasi saya, dan kala itu saya mengurung diri di kamar mandi dan melakukan percobaan bunuh diri. Begitu kembali dari rumah, saya dikurung, saya tidak nafsu makan, tidak bisa tidur. Saya tidak ada keinginan untuk hidup lagi… …makanan saya dibedakan, saya lihat garam di dapur ada nama saya, bahkan air galon juga dibedakan, saya tidak boleh beli air dan makan sendiri. Saya tidak diberikan akses hp, uang, bahkan untuk ke teras saja tidak diperbolehkan.”
Ini juga yang menjadi alasan pengalaman sebagai lesbian yang juga dipaksa untuk datang dengan psikolog. Di bawah ancaman tidak akan dibiayai pendidikan kuliah, ia ditekan untuk mengikuti program trauma healing online berupa diskusi dalam satu grup WhatsApp. Grup ini merupakan kumpulan individu yang berprofesi sebagai psikolog dan mereka yang tertarik mempelajari psikologi. Satu waktu, bisa saja grup mengangkat topik dan mengirimkan jurnal mengenai perkembangan anak. Namun di waktu lain, tidak jarang diskusi mengarah pada penolakan terhadap penerimaan eksistensi LGBT, misalnya dengan menyebarkan jurnal tentang “betapa LGBT itu dosa dan tidak waras”. Tidak menahan diri untuk menyatakan pemikirannya, ia pun menjadi satu-satunya orang di dalam grup yang terus-menerus menggugat tudingan-tudingan yang diarahkan pada minoritas seksual dan identitas gender. Akhirnya, ia dikeluarkan dari grup karena dinilai terlalu membangkang.
Faktanya, akademisi tanpa pemahaman yang komprehensif juga menjadi agen kultivasi diskriminasi terhadap kelompok rentan karena mereka tidak mendapat pembekalan ramah LGBT saat menempuh pendidikan. Peserta melanjutkan, miskonsepsi ia temukan pada temannya yang sedang kuliah sarjana psikologi. Ketika menceritakan bahwa ia adalah korban pemerkosaan, sang teman langsung mengambil kesimpulan bahwa ia menjadi lesbian sejak kejadian itu. Padahal, ia sudah out lama sebelum terjadinya pemerkosaan.
Kenyataan banyaknya jasa yang menawarkan terapi konversi menciptakan citra buruk psikolog dan psikiater di hadapan komunitas LGBT. Konsekuensinya, mereka yang butuh konseling menjadi enggan untuk menemui profesional, seperti pengakuan dari peserta diskusi yang adalah seorang perempuan transgender. Tahun lalu, ada waria yang dipersekusi dan diusir dari rumah kos di Jakarta Timur. Komunitas secara aktif menanyakan kebutuhannya dan saat itu yang menjadi urgensi adalah tempat tinggal. Tahu bahwa kejadian ini bisa jadi shock berat bagi korban, mereka juga menanyakan apabila konseling diperlukan agar tidak menjadi trauma berlarut-larut. Ia menolak konseling karena membuat janji konseling psikolog atau psikiater seolah memberikan validasi bahwa mereka memang memiliki permasalahan mental. Padahal, ketakutan terhadap reaksi masyarakatlah yang menjadi sebab kebutuhan mereka akan dukungan psikologis profesional.
Profesional Kesehatan sebagai Rujukan yang Dipercaya
Permasalahan tentang kurangnya sensitivitas praktisi kesehatan terutama yang beroreintasi klien dan adanya perbedaan pandangan dari profesional sehubungan dengan wadah isu kelompok LGBT, menciptakan satu tugas baru, yaitu membekali tenaga kesehatan dengan membentuk atau mengikuti standar layanan Internasional yang berfokus pada klien dan tidak menambah stigma pada identitas gender dan orientasi seksual individu. Harapannya, layanan yang mengedepankan sensitivitas dapat menarik klien untuk lebih terbuka dan membuat klien merasa lebih nyaman serta bahagia. Terlebih lagi untuk kelompok yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi akibat tekanan psikososial yang tidak mendukung.
Untuk mencapai hal tersebut, pentingnya kerjasama antara praktisi kesehatan baik dari sisi Psikologi, Psikiatri dan Kedokteran ramah dan menjadi profesionalitas serta sensitivitas isu untuk dapat menginisiasi forum diskusi antar-kolega. Fokus utamanya ialah membawa memperkenalkan kembali kode etik, mengurangi ekspresi konselor yang diskriminatif, dan memberikan dasar-dasar konseling untuk konselor komunitas. Rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi ahli merupakan tugas bersama yang tidak hanya kerja praktisi kesehatan, melainkan tugas bersama pegiat hak asasi manusia dalam bidang kesehatan.