Selamat Menyambut Ramadan 1440H
6 May 2019
Turut Berduka Cita
16 May 2019
Show all

Keluarga Yang Bertanggung Jawab dan Toleran

Oleh: Dr. Ichsan Malik, M.Si (Ketua Pengurus Nasional PKBI)

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI lahir pada tahun 1957 di Jakarta, Indonesia. Saat itu dunia sedang dilanda krisis pangan. Terkenal ungkapan Malthus seorang ahli ekonomi yang menyatakan bahwa manusia lahir seperti deret kali, Namun pertumbuhan pangan seperti deret tambah, sehingga besar kemungkinan akan terjadi krisis pangan yang akan menyebabkan terjadinya kelaparan yang meluas di dunia.

Namun situasi politik Indonesia saat itu sedang berada dalam keadaan dimana justru semangat kebangsaan sedang tumbuh mekar . Presiden Sukarno masih dengan semangat “Nation Building”. Kekuatan bangsa masih dilihat dari jumlah penduduknya yang banyak dan dapat dimobilisir untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari luar.

Maka keberadaan PKBI yang mengusung isu perencanaan keluarga pada hakekatnya tepat guna untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis pangan dan penduduk. Namun juga bisa bertabrakan secara diametral dengan semangat kebangsaan yang sedang tumbuh mekar di Indonesia dan tradisi yang berkembang di masyarakat, yaitu banyak anak banyak rejeki yang populer di Indonesia.

Oleh karena itu dapat kita ambil kesimpulan sementara, pada dasarnya ada 3 kata yang selalu dikaitkan dengan kelahiran PKBI, “kepeloporan” yang berkaitan dengan program-programnya, “kerelawanan dan kemandirian” yang berkaitan dengan organisasinya.

Kepeloporan Program

Fokus utama program pada awal PKBI tahun 1957 adalah keluarga. Pada awal kelahirannya PKBI memusatkan perhatian kepada dua dimensi dari keluarga yaitu dimensi kelahiran, dimana setiap kelahiran itu diharapkan dan merupakan tindakan sadar dan harus direncanakan. Inilah titik awal konsep Keluarga Berencana.

Dimensi kedua, kesehatan, yang paling penting sikap untuk hidup sehat, tindakan yang preventif jauh lebih penting daripada kuratif untuk menciptakan keluarga yang sehat.

Pada tahun 1980, berkembang 3 dimensi lain terkait dengan keluarga, dimensi pendidikan, anak laki-laki atau perempuan dalam keluarga tidak boleh dibedakan pendidikannya, dan harus dilakukan secara dialogis .

Dimensi keempat, kesejahteraan yang dimaksudkan lebih kepada martabat dari keluarga (being) bukan sekadar memiliki kekayaan (having). Tidak ada artinya kaya tetapi tidak punya martabat.

Dimensi kelima masa depan, seluruh keluarga harus disiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks, harus dihindarkan keluarga-keluarga yang terperangkap kepada masa lalu.

Pada era 1990 an kelima dimensi keluarga yang bertanggung jawab mengalami perluasan dan pendalaman pada dimensi kesehatan dan kelahiran. PKBI mengambil prinsip-prinsip Kesehatan Reproduksi, kesehatan dan kelahiran dilihat sebagai satu sistem sejak masih dalam kandungan, anak-anak, remaja, dewasa, dan masa tua.

PKBI mulai memperhatikan lebih memperhatikan anak-anak dan lansia bukan hanya ditekankan kepada remaja dan orang dewasa. Lahir program Bina Anaprasa untuk anak pra sekolah. Mulai peduli pada kelompok lansia, dan mempelopori program penanggulangan HIV dan AIDS.

Pada perkembangan selanjutnya PKBI terus melakukan pendalaman pada aspek kesehatan reproduksi. Termasuk mengelaborasi secara terus menerus dan penguatan Hak Asasi Manusia, prinsip kesetaraan dan keadilan agar menjadi prinsip yang direalisasikan sepenuhnya dalam keluarga.

Maka PKBI menjadi pionir untuk mewujudkan program kesehatan seksual dan reproduksi di dalam keluarga dan di masyarakat. Saat ini program sudah menyentuh kepada hampir seluruh kelompok masyarakat termasuk kelompok Waria dan anak yang bermasalah dengan hukum.

Kerelawanan dan Kemandirian Organisasi

Kata kerelawan seolah-olah melekat kepada organisasi PKBI. Kerelawanan diartikan sebagai orang-orang yang terlibat didalam organisasi dan program PKBI dikarenakan adanya panggilan untuk melakukan suatu kegiatan kemanusian untuk membantu diri dan orang lain tanpa mengharapkan pembayaran atau gaji.

Menjadi relawan PKBI bukan berarti bebas dari risiko. Pada awal kegiatan PKBI banyak relawan-relawan PKBI yang diusir dan dikejar-kejar dari kampung-kampung karena isu keluarga berencana sangat sensitif dan banyak ditolak oleh kelompok beragama saat itu, maupun oleh kelompok pemerintahan.

Pada perkembangannya ada relawan sepenuhnya yang menjadi relawan dan tersebar di kepengurusan organisasi dan program. Serta ada relawan yang kemudian menjadi karyawan atau staf PKBI yang mendapatkan gaji sesuai dengan profesionalisme dan kinerjanya.

Kemandirian organisasi PKBI merupakan cita-cita yang terus hidup sejak awal berdirinya organisasi. Sebab, hanya organisasi yang mandiri yang bisa mendukung keberlanjutan program-programnya. PKBI melakukan berbagai intervensi untuk mewujudkan kemandirian organisasi, antara lain, dengan selalu meningkatkan kapasitas sumberdaya staf dan relawannya. Membangun jaringan kerja yang melibatkan mitra strategis agar terlibat sepenuhnya dalam mewujudkan visi keluarga yang bertanggung jawab.

PKBI juga terus melakukan penguatan di daerah dan cabang sehingga dapat menjadi mandiri pula.

Hingga saat ini PKBI telah hadir pada 27 Provinsi di Indonesia, yang tersebar pada 193 Kabupaten/Kota. Namun Kantor Daerah PKBI hanya ada di 25 Propinsi, ada 193 PKBI Cabang, serta 23 Youth Forum. Semua itu digerakkan oleh relawan PKBI yang berjumlah 4.269 orang. Sebahagian besar PKBI Daerah sudah mandiri memiliki kantor, wisma, klinik, youth center dan koperasi.

Tantangan Program dan Organisasi

PKBI menghadapi dua tantangan sekaligus, pertama, tantangan pada dimensi kelahiran dan kesehatan. Seolah-olah terjadi siklus yang berulang pada awal tahun 1970-an di Indonesia, tingkat kelahiran bayi menjadi tinggi kembali, tingkat kematian ibu yang melahirkan terus meningkat, yang paling mengherankan perkawinan usia muda meningkat kembali pada era milenial ini.

Tantangan kedua terkait kecendrungan masyarakat Indonesia yang semakin intoleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, seperti perbedaan agama, etnik, gender, disabilitas, dan orientasi seksual. Padahal kita tahu, perbedaan itu sesuatu yang terberi.

Dalam bentuknya yang paling ekstrim intoleransi dapat menyebabkan lahirnya fenomena keluarga radikal seperti yang terjadi di Surabaya, ada beberapa keluarga yang sehat, sejahtera, berpendidikan, tetapi kemudian melakukan bom bunuh diri bersama, laki-laki dan perempuan, baik orang dewasa dan remaja, untuk menghancurkan orang lain yang berbeda agamanya.

Toleran pengertian dasarnya adalah menghormati perbedaan yang ada, bisa perbedaan agama, etnik, gender, disabilitas. Ketika seseorang atau sekelompok orang merasa tidak aman dan merasa terancam oleh kelompok lainnya maka disinilah akan lahir intoleransi.

Intoleransi ini akan terus berkembang apabila diberikan pupuk streotip dan prasangka. Pada kondisi intoleransi yang terus menerus tanpa ada upaya pengurangannya dan bahkan terus diberikan pupuk maka kondisi ekstrim bisa terjadi dan bisa menghancurkan keluarga-keluarga di Indonesia.

Kedua fenomena ini akan menjadi tantangan bagi program inovasi PKBI ke depan, dan melahirkan satu dimensi baru dalam keluarga yang bertanggung jawab atau dimensi keenam, yaitu toleransi baik di dalam keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat.

Tantangan organisasi PKBI saat ini dari sisi kemandirian adalah masih belum optimalnya pemanfaatan asset-aset PKBI. Sebagian besar klinik sudah mandiri. Youth Forum mulai memikirkan kemandiriannya.

Dari segi kerelawanan semakin hari ketangguhan relawan PKBI semakin teruji. Pada usia PKBI yang ke-60 ini seluruh relawan PKBI tetap optimis memandang masa depan keluarga-keluarga di Indonesia. PKBI akan berupaya mengembangan program yang inovatif dan mengupayakan kemandirian organisasi dengan kredo baru yaitu “Keluarga yang bertanggung jawab dan toleran”.

Penyunting: Mukhotib MD