RKUHP masih berisi pasal-pasal bermasalah dan berpotensi melakukan ‘overcriminalization’ menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Jakarta, 14 September 2019 | Magdalene.co. Sejumlah aktivis dan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendesak Dewan Perwakilan untuk menunda pengesahan Rancangan KUHP karena banyaknya pasal-pasal bermasalah dan berpotensi dipakai untuk kriminalisasi secara berlebihan overcriminalization.
Aliansi tersebut terdiri Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), ELSAM, Institute for Criminal Justice Reformation (ICJR), MAPPI, LBH Jakarta, LBH Masyarakat (LBHM) dan Aliansi Satu Visi (ASV).
Selain pasal-pasal yang masih bermasalah, aliansi juga menyayangkan bagaimana pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RKUHP ini, yang rencananya akan disahkan bulan ini.
”Selama proses di pemerintah, rapat terbuka terakhir pada tanggal 30 Mei 2018, sisanya sampai dengan 28 Agustus 2019 semuanya tertutup dan tidak bisa diakses,” kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/9).
Aliansi ini mengatakan bahwa naskah RKUHP ini telah banyak berubah tetapi masih ada empat isu krusial yang bermasalah, yakni kesehatan, tindak pidana korupsi, makar, dan hukum hidup dalam masyarakat (living law). Di dalam isu kesehatan, pasal-pasal yang bermasalah adalah mengatur tentang aborsi, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, dan narkotika.
Frenia Nababan, Advocacy and Program Director PKBI mengatakan, Pasal 470 ayat 1 RKUHP yang mengatur aborsi adalah sebuah bentuk diskriminasi bagi perempuan karena dapat mengkriminalisasi korban pemerkosaan yang memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya. Ia menambahkan bahwa pasal ini juga tidak memberikan pengecualian untuk perempuan yang aborsi dengan alasan kesehatan.
“Mereka membuat pasal ini tetapi orang-orang yang mengerti kesehatan, hak-hak perempuan dan perlindungan anak tidak pernah diajak bicara,” kata Frenia.
Selain itu, ada aturan-aturan yang bakal membuat masyarakat sulit mendapatkan informasi mengenai alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal 481 dan 483 menetapkan bahwa siapa pun selain petugas yang “berwenang”, jika ketahuan memberikan edukasi mengenai alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi, maka mereka akan terkena sanksi pidana.
“Bisa kita bayangkan, PKBI misalnya mau memberikan informasi tetapi kita tidak boleh membahas tentang kontrasepsi. Sementara itu anak-anak berumur 14-15 sudah pubertas, masa kita harus menunggu hingga mereka sudah berumur 19? Sudah terlambat,” tambahnya.
Untuk pasal soal perzinaan dan kohabitasi, aliansi ini berpendapat bahwa pasal ini berpotensi mengkriminalisasi warga sehingga patut ditolak karena keterlibatan negara sudah terlalu jauh ke ranah privasi. Secara tidak langsung kriminalisasi perzinaan dan kohabitas–ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan, dan kekerasan – adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi.
Ada juga pasal penggelandangan yang artinya tidak dijelaskan secara spesifik sehingga dapat terjadi misinterpretasi dan berpotensi mengkriminalisasi warga seperti perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial, dan lainnya. Sementara itu ada juga isu tentang “hukum yang hidup dalam masyarakat” yang juga tidak ada definisi spesifiknya dalam RKUHP, sehingga dapat terjadi misinterpretasi atau pasal karet.
Beberapa pasal tindak pidana korupsi di RKUHP juga berbenturan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dualisme ini, menurut Aliansi, justru dapat mengakibatkan terjadinya jual beli pasal. Di dalam RKUHP ini juga masih menyertakan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan negara demokrasi seperti pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap bendera, penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, dan juga penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.
Pasal-pasal ini sangat dikhawatirkan oleh Aliansi dan diharapkan untuk dibahas ulang sebelum RKUHP benar disahkan.
“Tunda RKUHP. Jangan terbitkan RKUHP di era Milenial tapi rasa masih kolonial,” ujar Frenia.
Judul asli : RKUHP Era Milenial Rasa Kolonial Harus Ditunda: Aktivis