PKBI menerima undangan Koalisi 18+ untuk menghadiri Konferensi Pers Hari Anak Nasional: Anak Muda Bicara Perkawinan Anak, Selasa (23/7) bertempat di Bakoel Koffie, Cikini. Hari Anak Nasional menjadi momen untuk kembali menaikkan kesadaran bahwa pegiat dan masyarakat sipil masih memiliki satu tugas terkait perjuangan hak anak, yakni penghapusan perkawinan anak.
Hadir sebagai narasumber adalah Koalisi Perempuan Indonesia; Dewiana, remaja dari Wahana Visi; dan Ramdan, remaja yang aktif berkampanye penolakan perkawinan anak di Bandung.
Dalam konferensi pers, Koalisi Perempuan Indonesia memaparkan kronologi dan update terkait advokasi untuk menaikkan usia minimal menikah bagi anak perempuan dalam UU Perkawinan. Angka dan data perkawinan anak juga dipaparkan dalam presentasi selanjutnya dari Koalisi Perempuan Indonesia (Cabang Bogor). Pemaparan statistik dilanjutkan dengan hasil analisa perkawinan anak berupa faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkan.
Perkawinan anak melanggar hak anak. Hak anak yang terlanggar antara lain: hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, hak atas pencapaian kesehatan yang tertinggi, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas istirahat dan waktu luang, hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua, hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, serta hak atas kelangsungan hidup dan berkembang.
Maka, remaja sebagai korban sekaligus agen perubahan didorong untuk berbicara tentang penolakan mereka terhadap perkawinan anak. Kegiatannya antara lain membentuk kelompok anak muda, mengadakan diskusi yang memperkuat kapasitas diri, Spy Kids (mengawasi, memantau, dan mendata kasus perkawinan anak), dan mengadakan konseling anak muda.
Edukasi tentang bahaya perkawinan anak juga dilakukan dengan cara-cara kreatif, seperti pembuatan mural STOP PERKAWINAN ANAK dan juga penampilan teater.
Dewiana dan Ramdan mengungkapkan pendapat mereka. Ramdan secara spesifik memang aktif dalam advokasi perubahan batas minimal umur pernikahan bagi anak perempuan, yang menghasilkan Surat Edaran Pencegahan Perkawinan Anak di desanya.
Dalam sesi tanya jawab, terungkap bahwa provinsi yang memiliki angka perkawinan anak terbesar adalah di Sulawesi, semua provinsi secara umum. Faktornya tidak hanya ekonomi, tapi juga budaya adat istiadat menikahkan anak di usia muda. Ada pandangan bahwa perempuan yang lama menikah akan berakhir menjadi perawan tua dan tidak laku. Lalu ada faktor agama: lebih baik dinikahkan muda daripada anak berzina.
Dampaknya bagi anak antara lain dari kesehatan reproduksi (badan anak yang belum siap untuk hamil dan melahirkan berpotensi menyebabkan kematian), lalu dari segi psikologis keduanya belum dewasa sehingga ada kecemasan timbulnya KDRT. Anak juga tidak bisa mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan.
Sayangnya, di beberapa daerah di Indonesia perkawinan anak itu dianggap sebagai prestasi. Misalnya ada aturan uang panai (semakin tinggi uang panai, semakin bangga orang tua). Ada juga tradisi belis di NTT, dimana derajat keluarga semakin tinggi ketika diberikan uang belis. Di sini sudah terlihat adanya potensi trafficking yang dilakukan oleh orang tua dan keluarga sendiri. Diskriminasi terhadap perempuan sudah dimulai dari keluarga.
Perkawinan anak merupakan praktik yang harus dihapuskan. Mari, bersama-sama kita terus berjuang demi pemenuhan hak anak.
Oleh: Jessica Rachel